Adakah Detik Ini Kau Membuatku Merindu?

Tadi pagi...kau dobrak lagi pintu hatiku dengan rima puisimu yang pilu itu. Jerit rindumu memekakkan hati, membelalakkan jiwaku. Kau yang setegar bumi masih pula meneriakkan derita? Mana batu karangmu? Mana gahar cahyamu? Mana cakrawala ilmu dan lautan cintamu yang tiap helaan nafasmu kau sempatkan untuk kau bagikan pada orang lain?

Jangan lagi kau hiraukan aku sebab rinduku terlampau sesak. Janganlah rindu lemahkan ketetapan hatimu sebab janjimu cukuplah sudah bagiku. Untuk apa lagi kehendak membelah lautan itu andai hati kita telah terpaut satu? Tak ada jarak yang mampu membentangnya...tak ada ruang bagi bisikan goda sebab hasrat dan kehendak kita telah bulat menyatu. Percayalah itu! Cinta...cukuplah sudah bagiku.

Kau tanya...”adakah pertemuan menggantikan rindu?”
“Tidak,” jawabku. “Rinduku takkan tergantikan oleh apapun sebab rinduku terbuat dari rajutan seribu hasrat dan puja-puji untukmu. Pertemuan hanyalah sebagai penimbang kasih yang terulur, sebagai peneguh hati akan kesetiaan dan keluasan cinta yang sanggup kutumbuhkan untukmu.”

“Tapi bagaimana saat kenyataan tak seindah harapan?” lagi, kau tanya itu.
Jawabku, “kasihku...percayalah, kenyataan hanyalah kau dan aku, kita dan mereka. Tak lebih, tak kurang. Tak seperti harapan yang kerap penuh bunga dan warna-warna indah melenakan. Kenyataan adalah cinta kita...yang kita bina dengan hati...dengan ketulusan dan kejujuran...dengan keterbatasan dan kekurangan-kekurangan kita...dengan akal dan budi kita. Kenyataan adalah kaki-kaki kita yang menjejak bumi, meski telanjang dan terluka-luka...tetap tegar meniti langkah, menyongsong esok...meraih cita.”

Sepagi ini aku kembali menjabarkan berkah, menghitung jejak seberapa langkah perjalanan kita. Semalaman tadi kukaji lagi hatiku, “adakah kau detik ini membuatku merindu? Selalu!”

Asmara Gt.

Menantimu Dalam Kelam

Untaian kata-katamu tenang mengalir sampai ke muaranya, mengalun indah bagai dendang cinta para pujangga. Bahkan telaga pun kerap cemburu sebab tak pernah mampu ia beranjak. Aku percaya, pintamu itu hanya rengekan manja si anak manis yang tengah mendamba sapa.

Pelepah dauh pisang bergoyang menari di kilauan embun malam, mencibiri gundah di kepalaku sebab kau tak juga pahamkan. Aku hanya sepercik air kubangan yang menyiprat di kakimu kala kau lewat di malam heningmu itu. Rindu yang kau teriakkan hingga parau suaramu itu kerap membuyarkan mimpi-mimpiku. Kau temaram bulan yang redup terhalang awan kelam. Kau buih kali hitam yang bermuara di antara batas lautan. Kau tetap dirimu, meski hening menyelimuti malam yang kau puja itu. Dan aku tetap di sini...menantimu...dalam...kelam!

Asmara Gt.

Ingkarmu Di Ambang Pagi Yang Hampir Habis

Sendiri di ambang pagi. Sama seperti ambang pagi di tujuh purnama lalu. Dan di keheningan ini aku tetap menantimu. Sekalipun seperti ambang pagi yang lalu-lalu itu, kau tetap tak kunjung tiba. Aku tak hendak mengutuki ingkarmu meski janjimu seteguh candi saat kau ikrarkan padaku. Bagiku ketakhadiranmu kini hanyalah kebisuan yang sama seperti saat kunyatakan cinta padamu. Anggukan lembut kepalamu sebulat hatimu, kutahu itu. Dan airmata harumu seirama dendang cinta yang kulagukan untukmu, kupahami juga itu. Tapi mengapa ingkarmu di ambang pagi ini sama persis rasanya seperti ambang pagi yang lalu-lalu itu...perih, pedih...sunyi?

Kuakui, hanya kenangan-kenangan tentangmu kini yang menari indah di kepalaku; senyum dan tawamu, ceriwis ucapan-ucapanmu, gerak lincah langkah-langkahmu, semerbak harum rambutmu, dan...bisik manjamu...mengingatkan aku pada gemerisik daun bambu dan dentang pintu kereta di kejauhan itu...selalu!

Ah, ambang pagi inipun nyaris punah oleh lelah hati dan datangnya mentari. Kerinduan ini biarlah jadi milikku sendiri. Kan kudekap bersama lelah dan penat hati, bersama kenangan usang dirimu di ambang pagi yang hampir habis ini...biarlah kau menjadi mimpi dan hiasi kekosongan jiwaku dalam tidur siang ini.

Asmara Gt.

Akhir Perjumpaan

Salam perpisahan tadi...yang terucap begitu lembut namun berat dari bibir indahmu itu...berat, karena kurasakan juga engganmu tuk akhiri perjumpaan ini. Masih bertumpuk rindu kulihat kau dekam di dadamu...dan berjubal hasrat yang entah untuk apa menggelora di rona wajahmu. Arus bawah ucapan-ucapanmu menikam-nikam jantungku, mempreteli basa-basi dari topeng kepura-puraanku, membeliakkan mata batinku hingga mau tak mau kupaksakan diri menapak di kejujuran jati diriku.

Oh, gadis cantikku...jelmaan seluruh karunia dari Yang Maha Sempurna...telah kau tawan keseluruhan diriku, seluruhnya...bahkan tak tersisa sedikitpun untuk kubawa pulang bagi diriku sendiri. Ah, andai waktu dan jarak mampu kuabaikan...andai batas tabir mampu kuterjang...pasti pertemuan tak akan secepat ini berlalu.

Asmara Gt.

RINDU MENGUAP ENTAH JADI APA

Kurasakan seberkas bayangan gelap jatuh menerpa di sebagian hatiku. Kamu tau artinya? Sama seperti senja merah yang redup menggelap di ufuk sana. Semburan cahayanya yang memudar itu membentuk bayang-bayang yang mencitrakan sosok-sosok mengagumkan, seolah muncul begitu saja dari balik cakrawala. Juga kukira identik dengan senyum di bibirmu yang tak lagi ramah itu, yang sekarang ini justru menyimpan seribu goda, yang mendadak sontak membutakan hatiku. Dan aku, seperti sebidang ruang kosong itu, tak kuasa mengelak jatuhnya sang bayangan, dan hanya menikmatinya saja bagai sebuah berkah, karena sang bayangan telah meneduhkan aku dari terik mentari.

Kutatap sang binal bagai kulihat penampakanmu yang penuh pesona. Aku jadi buta. Aku jadi tuli, ketika bisikan manjamu yang penuh kepalsuan itu merayu. Kepekaanku menumpul ketika rabaan jemarimu yang nyaris kurang ajar itu menyentuh berahiku. Aku tau, aku tak hanya tergoda. Aku terperangkap nafas sesakmu yang mendesak-desak. Hingga godamu menjelma menjadi damba. Khayal mengkhayal menjadi nyata. Mana kamu, mana aku. Aku tak lagi tau.

Musikmu menyayat. Bisikmu melumatkan batu hatiku. Namun rindu telah menguap entah jadi apa. Mimpi-mimpiku kerap meliar karena kamu tak lagi nyata. Kehadiranmu kian semarak bersama hiasan sejuta khayal dan segumpal rindu yang tak pernah sampai. Sungguh godamu telampau dalam menjejak di hatiku. Hingga jejak tapakmu kini menjelma menjadi hantu yang selalu menggerayang di setiap arah pandangku.

Bulan sabit dan bintang satu, mirip wajahmu yang sedang berpaling dengan mata sipitmu memicingi aku. Mana senyum godamu dulu? Mana kerlingan matamu yang dulu pernah menyesatkan cintaku? Mungkin di kepalamu itu sekarang mendekam pikiran yang menghinakan aku. Mungkin juga batinmu menggerutu, memaki-maki aku dengan cacian paling hina yang pernah ada di dunia ini. Aku tak perduli. Bagiku cukup sudah siksaan rindu yang kuderita ini. Aku juga bisa seperti bulan sabit dan bintang satu untuk kamu. Aku juga bisa mencibiri kamu. Batinkupun bisa menggerutu, memaki-maki kamu dengan cacian paling hina yang pernah ada di dunia ini. Tapi aku tak mau. Aku bukan kamu dan aku tak ingin melukai kamu meski dengan luka yang sedang kuderita ini. Aku hanya ingin diam. Aku ingin hening. Aku ingin kamu tau kalau diamku adalah keheningan yang sama seperti dulu waktu kamu pertama kali datang menjemputku dengan kendaraan godamu itu. Kamu hanya bayangan kelabu yang pernah singgah di sebidang hatiku. Dan sekarang bayangan itu sama sekali lenyap, merayap entah ke mana.

Dulu, setiap kerlinganmu menggetarkan hati. Menjadikan semburan bau tak sedap bagai aroma mewangi yang membiuskan. Aku oleng memang, aku terjerambab oleh setiap liuk godamu. Aku terpuruk, memang. Dan kini tinggal sesobek kenanganmu yang riang berkibar-kibar di riak khayalku.

Hari-hari tanpa kamu adalah hari-hari yang melelahkan. Lelah, bukan karena memikirkan kamu. Aku lelah karena kusibukkan hari-hariku untuk mencuci noda-nodamu - walau nodamu begitu sulit untuk dibersihkan - hingga sampai tertorehkan luka-luka baru. Namun, nodamu harus hilang sama sekali, meski harus berganti dengan noda-noda akibat luka pencucian itu. Tapi selalu saja…setelah rindu adalah lapar. Lapar untuk melumat kamu menjadi butiran-butiran keringat dan menguapkan rindu ke awan impian.

Sabtu usang, telaga diam. Di perempatan jalan kulihat kamu sendirian, meniti langkah-langkah memikul seribu rahasia. Entah rahasia goda-godamu, entah rahasia derita. Aku juga tak ingin tahu. Aku hanya melihat kamu hening dalam kesenyapan hatimu yang entah karena apa. Yang jelas, ada luka tersayat yang kurasakan terpancar dari hentakan gerak-gerikmu.

“Aku cinta kamu…” begitu desahmu selalu di kuping hatiku.
“Aku gak tau lagi harus bilang apa. Yang aku tau, aku memiliki perasaan yang gak tersembuhkan mengenai kamu. Dan kamu pun tau itu.”
“Apa? Bilang…kita udah lama gak ketemu. Gimana mungkin aku tau seperti apa perasaan kamu sekarang? Apa kamu gak mau mengatakannya karena kamu udah punya pengganti aku?”
“Kamu gak akan pernah tergantikan. Luka yang kamu toreh terlampau dalam di hatiku, hingga tak ada lagi tempat bagi siapapun untuk menggantikan kamu.”

Kamu diam. Aku juga diam. Aku tak ingin lagi menduga-duga. Diam, sebab tak ingin lagi aku terluka.


Asmara Gt.

Decak Cicak di Dua Musim Saja

Dua musim. Awal hujan, akhir panas. Tak sampai terbilang tahun. Kita kerap melepas dahaga, walau cuma seteguk rasa. Seperti panas mengasap dibasahi hujan sehari. Air bah mengganas menggulung dari gunung. Lusanya banjir di pelosok-pelosok kota. Derita kekeringan menjadi derita kebanjiran. Kamu dan aku cuma sebagian cerita, yang terseret-seret arus di dua musim saja.

Aku cinta padamu. Tapi kamu perlakukan aku seperti kamu mainkan catur jawa. Aku sayang padamu. Tapi kamu mengulum aku seperti asam gula. Bait-bait puisi indah menjadi serpihan kata-kata usang tak bermakna. Air tebu menjadi gula dan sepahnya menjadi makanan kuda. Garam digerai dan airnya menguap menjadi hujan. Kilat dan guntur menggelegar, cahaya dan suaranya menjadi momok menakutkan si anak dalam ayunan.

Aku tak hendak membenci dirimu oleh kedangkalanmu memaknakan cintaku. Aku bukan hendak persoalkan cinta yang hanya tereguk di kerongkonganku saja. Aku bukan jenis orang yang sering berada dalam lagu-lagu cinta nostalgia. Aku bukan nada-nada dan cintaku padamu hanyalah cinta semata. Bukan cintanya para pujangga yang tengah melangitkan cintanya. Bukan pula cintanya para pecinta yang kerap meneriakan kesejatiannya. Biarkanlah kisah-kisah cinta mereka menjadi inspirasi bagi film-film dan novel-novel saja. Biarkanlah derita-bahagia cinta mereka menjadi literaturnya para pecinta pemula.

Aku hanya bualan semata. Cintaku tak punya cita-cita. Cintaku cuma sebibit rasa, seujung kuku, yang bagimu mungkin masih seperti dodol dan lepet ketan. Cintaku bukan gunung es yang menjulang ke langit. Bukan intan-permata dan rajutan sutra. Kuolah bahan mentah dan masaknya untukmu. Kubajak sawah ladang dan panennya untukmu. Kurangkaikan kata-kata dan puisinya untukmu. Kususun nada-nada dan lagunya untukmu. Dan untukmu ketumbuhkan segala sesuatunya, tapi kamu tak perduli.

Akhir musim kedua. Aku disentak cicak yang berdecak, berkejaran di dinding. Mengisyaratkan petuah dan hikmahnya.
“Jangan sebut itu dorongan cinta!” kata si cicak, setengah membentak. “Kalaupun kamu bersikeras juga untuk menyebutnya begitu, aku tak hendak menyangkalnya, sebab cintamu padanya hanyalah cintanya para pendosa!” lanjut cicak. “Cinta badan kepada pakaian. Burung yang mendambakan kandang. Air mendidih di kuali dan uapnya mematikan api.”
“Apa?” aku ternganga.

“Cinta membunuh cinta.” Tegasnya. “Saat-saat rindu kamu berlabuh, hanyalah ruang pestanya para iblis dan durjana. Sebab kerap kamu dan dia sengaja berenang di kali hitam. Membisu-tuli, membutakan hati.” Si cicak menjabarkan.
“Tapi aku sungguh cinta padanya!”
“Cinta tak pernah lahir dari nafsu!”
“Jangan sembarangan kamu menyebut cintaku padanya sebagai nafsu! Kamu cuma seekor cicak! Tau apa kamu soal cinta?”
“Aku iba melihatmu. Kamu selalu saja dirundung nestapa, sebab kamu tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada dirimu. Tapi begitulah kebanyakan manusia. Selalu saja tak mampu membedakan yang sejati dari yang palsu. Tapi itulah kehidupanmu. Aku cuma seekor cicak. Tapi aku tak buta. Aku tak tuli. Aku bisa tertawa melihat kekerdilanmu memaknakan cinta. Sebab apa yang kamu sebut sebagai cinta sebenarnya hanyalah sebibit rasa yang dapat menumbuhkan nestapa. Kamu akan menyesal sebab yang kamu semai hanyalah pohon duri berbuah nafsu. Kembang dan daunnya memang indah dipandang mata. Namun itulah pesonanya, yang memenjara kehendak cinta. Kamu akan selalu tak kuasa menanggung derita sebab kerinduanmu terlampau sesak. Lapar-dahagamu tak akan pernah terpuaskan. Kamu selalu saja menginginkannya, meski kamu tahu dia tak lagi berbekal sesak kerinduan yang sama, kerap mengikis rindu kamu menjadi serpihan-serpihan debu. Kamu akan merana!…”

Tidaaaak! Decak-decak cicak itu terus saja menggelegar di telingaku. Memecah-belah hatiku. Aku gamang. Tapi aku tak juga ragu. Cintaku padamu adalah cinta saja. Tanpa nafsu, tanpa cita-cita.

Kamu itu ibarat lagu tanpa syair. Kamu tetap enak. Meski kerap kugeleng kepala karena musikmu terlalu menyayat. Dingin malam yang biasa bikin badanku masuk angin saja enggan menerpaku sebab aku penat memikirkan kamu. Aku tahu pasti kamu sedang tertawa di sudut sana. Entah dengan siapa. Aku percaya kamu tak sedang mengobral sumpah seperti biasa kamu obralkan sumpahmu padaku saat kamu bohongi aku. Kamu itu ibarat kepompong. Menggelantung-gelantung, tapi tau-tau, kupu-kupu terbang melayang dengan sayapnya berbintik penuh warna indah. Demi Tuhan, kamu tetap menawan. Meski kerap kuterbelalak karena tarianmu terlampau semarak.


******

10 January 2003
Asmara Gt.

Biarlah Rindu Hinggap di Ketetapan Takdirnya

Dulu, kau abaikan aku. Padahal mentari senja sedang indah-indahnya. Dulu, setiap syair kulagukan untukmu, setiap kata kurangkai menjadi puisi untukmu. Tapi kau lebih memilih gundahmu sendiri. Kau abaikan aku dan kau semai sendiri prasangkamu. Untuk apa?

Kadang keluhmu tak menyisakan sedikitpun perhatianku. Kadang pengabaianmu terlampau angkuh, bahkan ombak enggan menjangkau tepi sebab puja-pujimu terlampau tinggi membumbung sampai ke langit. Kau ingin bahagia, kau bilang. Kau ingin segalanya indah, tapi tak sedikitpun kau indahkan aku.

Aku hanyalah sebutir pasir di pantaimu. Setitik tinta dari sebuku tulisan-tulisanmu. Tapi itulah belukar hatimu. Bahkan dirimu sendiri kerap tersesat di dalamnya, terpuruk dalam pengharapan rindu yang tak pernah mau kau puaskan.



Maafkan aku...bukan inginku mengikuti jejakmu. Andai pengabaian ini tertuju padamu, itu hanya karena aku lelah menjangkaumu. Lelah, menyandang keraguan dan impian semu tuk meraihmu, memilikimu...


Biarlah rindu mengawang dan hinggap di ketetapan takdirnya.

Asmara Gt.

Sudahlah...Usai Sajalah

Mengukur jarak nafas cinta
ketika berahi gusar memberangus malam
terserak-serak di altar pengabaian...

Desahmu menjadi usang
bersama butiran-butiran garam keringat
yang membercak noda di kali hitammu...

Kecantikanmu hanyalah dongeng nenek moyang
yang tertanam bersama nisan-nisan lapuk di kubur pahlawan...

Hari ini adalah masa lalu yang mengawang
beriringan renta usia nenek-nenek ompong
yang melolong-lolong tak tertolong...

Sudahlah...usai sajalah...
beri nafas pada sesak celah jarak antara kita!