Kurasakan seberkas bayangan gelap jatuh menerpa di sebagian hatiku. Kamu tau artinya? Sama seperti senja merah yang redup menggelap di ufuk sana. Semburan cahayanya yang memudar itu membentuk bayang-bayang yang mencitrakan sosok-sosok mengagumkan, seolah muncul begitu saja dari balik cakrawala. Juga kukira identik dengan senyum di bibirmu yang tak lagi ramah itu, yang sekarang ini justru menyimpan seribu goda, yang mendadak sontak membutakan hatiku. Dan aku, seperti sebidang ruang kosong itu, tak kuasa mengelak jatuhnya sang bayangan, dan hanya menikmatinya saja bagai sebuah berkah, karena sang bayangan telah meneduhkan aku dari terik mentari.
Kutatap sang binal bagai kulihat penampakanmu yang penuh pesona. Aku jadi buta. Aku jadi tuli, ketika bisikan manjamu yang penuh kepalsuan itu merayu. Kepekaanku menumpul ketika rabaan jemarimu yang nyaris kurang ajar itu menyentuh berahiku. Aku tau, aku tak hanya tergoda. Aku terperangkap nafas sesakmu yang mendesak-desak. Hingga godamu menjelma menjadi damba. Khayal mengkhayal menjadi nyata. Mana kamu, mana aku. Aku tak lagi tau.
Musikmu menyayat. Bisikmu melumatkan batu hatiku. Namun rindu telah menguap entah jadi apa. Mimpi-mimpiku kerap meliar karena kamu tak lagi nyata. Kehadiranmu kian semarak bersama hiasan sejuta khayal dan segumpal rindu yang tak pernah sampai. Sungguh godamu telampau dalam menjejak di hatiku. Hingga jejak tapakmu kini menjelma menjadi hantu yang selalu menggerayang di setiap arah pandangku.
Bulan sabit dan bintang satu, mirip wajahmu yang sedang berpaling dengan mata sipitmu memicingi aku. Mana senyum godamu dulu? Mana kerlingan matamu yang dulu pernah menyesatkan cintaku? Mungkin di kepalamu itu sekarang mendekam pikiran yang menghinakan aku. Mungkin juga batinmu menggerutu, memaki-maki aku dengan cacian paling hina yang pernah ada di dunia ini. Aku tak perduli. Bagiku cukup sudah siksaan rindu yang kuderita ini. Aku juga bisa seperti bulan sabit dan bintang satu untuk kamu. Aku juga bisa mencibiri kamu. Batinkupun bisa menggerutu, memaki-maki kamu dengan cacian paling hina yang pernah ada di dunia ini. Tapi aku tak mau. Aku bukan kamu dan aku tak ingin melukai kamu meski dengan luka yang sedang kuderita ini. Aku hanya ingin diam. Aku ingin hening. Aku ingin kamu tau kalau diamku adalah keheningan yang sama seperti dulu waktu kamu pertama kali datang menjemputku dengan kendaraan godamu itu. Kamu hanya bayangan kelabu yang pernah singgah di sebidang hatiku. Dan sekarang bayangan itu sama sekali lenyap, merayap entah ke mana.
Dulu, setiap kerlinganmu menggetarkan hati. Menjadikan semburan bau tak sedap bagai aroma mewangi yang membiuskan. Aku oleng memang, aku terjerambab oleh setiap liuk godamu. Aku terpuruk, memang. Dan kini tinggal sesobek kenanganmu yang riang berkibar-kibar di riak khayalku.
Hari-hari tanpa kamu adalah hari-hari yang melelahkan. Lelah, bukan karena memikirkan kamu. Aku lelah karena kusibukkan hari-hariku untuk mencuci noda-nodamu - walau nodamu begitu sulit untuk dibersihkan - hingga sampai tertorehkan luka-luka baru. Namun, nodamu harus hilang sama sekali, meski harus berganti dengan noda-noda akibat luka pencucian itu. Tapi selalu saja…setelah rindu adalah lapar. Lapar untuk melumat kamu menjadi butiran-butiran keringat dan menguapkan rindu ke awan impian.
Sabtu usang, telaga diam. Di perempatan jalan kulihat kamu sendirian, meniti langkah-langkah memikul seribu rahasia. Entah rahasia goda-godamu, entah rahasia derita. Aku juga tak ingin tahu. Aku hanya melihat kamu hening dalam kesenyapan hatimu yang entah karena apa. Yang jelas, ada luka tersayat yang kurasakan terpancar dari hentakan gerak-gerikmu.
“Aku cinta kamu…” begitu desahmu selalu di kuping hatiku.
“Aku gak tau lagi harus bilang apa. Yang aku tau, aku memiliki perasaan yang gak tersembuhkan mengenai kamu. Dan kamu pun tau itu.”
“Apa? Bilang…kita udah lama gak ketemu. Gimana mungkin aku tau seperti apa perasaan kamu sekarang? Apa kamu gak mau mengatakannya karena kamu udah punya pengganti aku?”
“Kamu gak akan pernah tergantikan. Luka yang kamu toreh terlampau dalam di hatiku, hingga tak ada lagi tempat bagi siapapun untuk menggantikan kamu.”
Kamu diam. Aku juga diam. Aku tak ingin lagi menduga-duga. Diam, sebab tak ingin lagi aku terluka.
Asmara Gt.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda tertarik? Mau membahas? Atau mau mengkritik? Silahkan tuliskan apa saja di kolom komentar ini.