Dua musim. Awal hujan, akhir panas. Tak sampai terbilang tahun. Kita kerap melepas dahaga, walau cuma seteguk rasa. Seperti panas mengasap dibasahi hujan sehari. Air bah mengganas menggulung dari gunung. Lusanya banjir di pelosok-pelosok kota. Derita kekeringan menjadi derita kebanjiran. Kamu dan aku cuma sebagian cerita, yang terseret-seret arus di dua musim saja.
Aku cinta padamu. Tapi kamu perlakukan aku seperti kamu mainkan catur jawa. Aku sayang padamu. Tapi kamu mengulum aku seperti asam gula. Bait-bait puisi indah menjadi serpihan kata-kata usang tak bermakna. Air tebu menjadi gula dan sepahnya menjadi makanan kuda. Garam digerai dan airnya menguap menjadi hujan. Kilat dan guntur menggelegar, cahaya dan suaranya menjadi momok menakutkan si anak dalam ayunan.
Aku tak hendak membenci dirimu oleh kedangkalanmu memaknakan cintaku. Aku bukan hendak persoalkan cinta yang hanya tereguk di kerongkonganku saja. Aku bukan jenis orang yang sering berada dalam lagu-lagu cinta nostalgia. Aku bukan nada-nada dan cintaku padamu hanyalah cinta semata. Bukan cintanya para pujangga yang tengah melangitkan cintanya. Bukan pula cintanya para pecinta yang kerap meneriakan kesejatiannya. Biarkanlah kisah-kisah cinta mereka menjadi inspirasi bagi film-film dan novel-novel saja. Biarkanlah derita-bahagia cinta mereka menjadi literaturnya para pecinta pemula.
Aku hanya bualan semata. Cintaku tak punya cita-cita. Cintaku cuma sebibit rasa, seujung kuku, yang bagimu mungkin masih seperti dodol dan lepet ketan. Cintaku bukan gunung es yang menjulang ke langit. Bukan intan-permata dan rajutan sutra. Kuolah bahan mentah dan masaknya untukmu. Kubajak sawah ladang dan panennya untukmu. Kurangkaikan kata-kata dan puisinya untukmu. Kususun nada-nada dan lagunya untukmu. Dan untukmu ketumbuhkan segala sesuatunya, tapi kamu tak perduli.
Akhir musim kedua. Aku disentak cicak yang berdecak, berkejaran di dinding. Mengisyaratkan petuah dan hikmahnya.
“Jangan sebut itu dorongan cinta!” kata si cicak, setengah membentak. “Kalaupun kamu bersikeras juga untuk menyebutnya begitu, aku tak hendak menyangkalnya, sebab cintamu padanya hanyalah cintanya para pendosa!” lanjut cicak. “Cinta badan kepada pakaian. Burung yang mendambakan kandang. Air mendidih di kuali dan uapnya mematikan api.”
“Apa?” aku ternganga.
“Cinta membunuh cinta.” Tegasnya. “Saat-saat rindu kamu berlabuh, hanyalah ruang pestanya para iblis dan durjana. Sebab kerap kamu dan dia sengaja berenang di kali hitam. Membisu-tuli, membutakan hati.” Si cicak menjabarkan.
“Tapi aku sungguh cinta padanya!”
“Cinta tak pernah lahir dari nafsu!”
“Jangan sembarangan kamu menyebut cintaku padanya sebagai nafsu! Kamu cuma seekor cicak! Tau apa kamu soal cinta?”
“Aku iba melihatmu. Kamu selalu saja dirundung nestapa, sebab kamu tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada dirimu. Tapi begitulah kebanyakan manusia. Selalu saja tak mampu membedakan yang sejati dari yang palsu. Tapi itulah kehidupanmu. Aku cuma seekor cicak. Tapi aku tak buta. Aku tak tuli. Aku bisa tertawa melihat kekerdilanmu memaknakan cinta. Sebab apa yang kamu sebut sebagai cinta sebenarnya hanyalah sebibit rasa yang dapat menumbuhkan nestapa. Kamu akan menyesal sebab yang kamu semai hanyalah pohon duri berbuah nafsu. Kembang dan daunnya memang indah dipandang mata. Namun itulah pesonanya, yang memenjara kehendak cinta. Kamu akan selalu tak kuasa menanggung derita sebab kerinduanmu terlampau sesak. Lapar-dahagamu tak akan pernah terpuaskan. Kamu selalu saja menginginkannya, meski kamu tahu dia tak lagi berbekal sesak kerinduan yang sama, kerap mengikis rindu kamu menjadi serpihan-serpihan debu. Kamu akan merana!…”
Tidaaaak! Decak-decak cicak itu terus saja menggelegar di telingaku. Memecah-belah hatiku. Aku gamang. Tapi aku tak juga ragu. Cintaku padamu adalah cinta saja. Tanpa nafsu, tanpa cita-cita.
Kamu itu ibarat lagu tanpa syair. Kamu tetap enak. Meski kerap kugeleng kepala karena musikmu terlalu menyayat. Dingin malam yang biasa bikin badanku masuk angin saja enggan menerpaku sebab aku penat memikirkan kamu. Aku tahu pasti kamu sedang tertawa di sudut sana. Entah dengan siapa. Aku percaya kamu tak sedang mengobral sumpah seperti biasa kamu obralkan sumpahmu padaku saat kamu bohongi aku. Kamu itu ibarat kepompong. Menggelantung-gelantung, tapi tau-tau, kupu-kupu terbang melayang dengan sayapnya berbintik penuh warna indah. Demi Tuhan, kamu tetap menawan. Meski kerap kuterbelalak karena tarianmu terlampau semarak.
******
10 January 2003
Asmara Gt.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda tertarik? Mau membahas? Atau mau mengkritik? Silahkan tuliskan apa saja di kolom komentar ini.