Jalan sepi menjulur menjauh, memuncak menuju langit. Senja berbinar memerah, menerpa bebatuan dan pucuk-pucuk ilalang.
Galau batinku tatkala roda-roda kereta meluncur deras menyebrangi kota-kota. Mungkin juga di benakmu ada rontaan yang sama dalam senja merah ini, seperti rasa ini telah menjalari pembuluhnya di nadiku, menunggangi kerelaanku, menikam-nikam kesadaranku, memasung kejujuranku!
Ah, nada-nada apa ini? Fenomena apa ini? Negeri apa yang kurangkaki ini?
“Di mana kita sekarang?” kutanyai juga lelaki tua yang sejak tadi terbungkuk menatapku.
“Di atas roda,” katanya.
“Lho, bukankah kita sudah lama turun dari kereta?”
“Ya, tapi kita tidak pernah turun dari roda!”
“Maksud bapak?”
Diam dia. Dipilinnya secomot tembakau menjadi sebatang rokok, lalu menghembuslah dari sela bibirnya yang keriput itu sekepul asap, seolah menjawab desakanku. Lalu tertatih ia menyingkir meninggalkanku ternganga.
Tapi sungguh, aku tersesat! Di mana aku kini? Roda-roda apa yang telah kutumpangi sampai aku terdampar di sini? Apa benar ada suatu kekuatan yang sangat halus, yang selama ini merasuk dan melenakan diriku sampai aku terapung-apung dalam kenyataan ini? Apakah kekuatan ini juga yang telah begitu sempurna menebarkan harumnya, hingga selama ini ratusan juta orang tak mampu menyadari…penderitaan tengah mengancam hidup mereka? Coba, jawab pertanyaanku!
Ya, senja merayap. Waktu menuntut-nuntut putarannya. Aku linglung. Mungkin kaupun juga begitu. Seperti ilalang-ilalang itu bertumbuh dan kini bergoyang liar dengan binar-binar merahnya menggelap, senyap. Tak ada lagi derai sorak tersisa, gegap membakar harap. Tak juga kabut bergelut menggayuti lelah. Tapi aku terkatung lagi sebuah tanya…hendak ke mana arus ini bermuara?
Kota ini asing. Debu-debunya kering menghempas-hempas. Langkah-langkah orang kian terasa kepanikannya. Kekeluan menghujam di wajah-wajah mereka. Suara-suara nafas mendengus para pekerja. Lengking dan jerit berita membahana. Dengung protes menghujat para penguasa. Makian sumbang para penertib. Desis-desis iba para pengemis. Senandung miris terseok-seok mengalun dari sudut-sudut jalan, seolah merangkak bangkit dari derita. Doa-doa usang ibunda menyayat pilu meratapi dosa-dosa anaknya.
Satu lagi kereta lewat menderit di persimpangan. Bunyi sirine ambulan meraung di kejauhan. Aku menghitung langkah, menjabarkan berkah. Tapi mungkin kau lelah. Seperti kelelahan puncak gedung-gedung tinggi itu menggapai-gapai langit. Seperti ilalang-ilalang itu yang terus bergoyang, bosan terkibas angin kepalsuan. Aku melenguh, menghembus keluh.
Kau? Oh, ya…di mana kau kini? Terakhir kita saling menukar benci di ujung hari. Rindu juga aku kini. Tiada lagi sapa sejak saat itu antara kita. Aku menjauh, kau menjarak. Walau kita masih saling memberi tanda, saling mengulur tanya. Namun kau dan aku hanya kertas-kertas kosong yang kian mendamba makna!
Aku menggapai, kau menjelang - menebar khayal di kehampaan - menekuri jejak-jejak yang tertinggal - mengkais mimpi dan sisa-sisa ilusi - mengutuki penat keharuan sesak pada jiwa-jiwa pongah penuh dusta dan nista!
Entah hanyut. Entah ingkar. Entah terpuruk. Entah lapar. Entah tanya tak mereda. Entah jera tak mendera. Tak juga ngilu tulang-tulang kita berderit rampak dalam kurun waktu bersama keluh dan damba. Bersama derita dan luka-luka.
Lalu usang. Lalu legenda. Lalu sejarah terulang. Lalu hening kembali merayapi celah-celah retak kehidupan…kita.
“Minggir! Minggir! Bapak mau lewat!” kira-kira begitu bunyi yang terdengar dari erangan sirine para pengawal konvoi di jalanan macet itu. Aku terkaget. Erangan sirine para pengawal itu telah membuyarkan lamunan akan kau.
*
Suara-suara berita kian rancu menggema dari pojok-pojok kota. Anak-anak negeri terbangkit menghimpun bekal, mengayuh harap menerjang ketimpangan-ketimpangan. Tertatih langkah mengkaji jagat. Tersesak nafas menjebol tirani. Terpasung nurani membongkar pagar-pagar eksistensi.
Ah, cakrawala itupun kini melingkar tanpa batas, menerobos gelap lengkung-lengkung gemawan, membentang membentur-bentur tiang perahu. Bukit-bukit karang angkuh merunduk, menghukum diri. Riak ombak berdesak-desak meliar memburu alurnya. Cahaya pudar memerah tak lagi tersisa. Gelaplah mulai. Cuma kerlip lampu-lampu nelayan terombang-ambing memantul-mantul melukis diri di riak samudra.
Aku limbung kini. Aku terbakar dendam. Kaupun kukira mengerti - kala kuasa bernuansa bening itu menggayuti jati diri. Kau ingat? Ya, barangkali kau ingat. Perangkap itu! Ya, perangkap yang menyebalkan itu! Yang telah mengubah keluguan kita jadi kedunguan kanak-kanak. Yang telah mencirikan kejujuran dan ketulusan hati kita sebagai ekspresi dari pemberontakan dan pembangkangan! Ingat?… Bahkan bagai buluh perindu, bagai iklan dan propaganda, membuai-buai angan kita…meninabobokan kepekaan kita… menenggelamkan kesejatian hidup kita! Pesona duniapun bahkan sekejap terserap habis olehnya. Mengering dan kerontang. Namun rasa aman dan kemapanan kita rupanya diam-diam telah melegitimasi kekuasaan bening itu menjadi ikatan yang tak pernah lekang! Oh, siapa kau sebenarnya? Bahkan saat-saat seperti ini, saat orang-orang tengah dilanda kekhawatiran akan ancaman kebangkrutannya, pesonamu masih saja membayang di mata batinku!
“Hey, kau!…Sini!” tiba-tiba seseorang berpakaian serba gemerlap, berhidung mancung, berkulit pucat dan bermata sipit memanggilku dengan jarinya mengacung tegas ke arahku.
“Hey, sini!” ulangnya.
Tapi, nampak di wajahnya yang gusar penuh geram itu menghampiriku. Lalu tegap ia berdiri mengangkangiku.
“Mau kemana lagi kau? Kau tak akan pernah bisa lepas dariku! Apa kau kira dirimu telah mampu berdiri dengan kepalmu yang gemetar itu untuk meninju dunia?…Apa kau kira dunia hanya sebulat tekadmu?”
“Apa?…Tentang apa ini!” aku meronta.
“Bukankah pada jam-jam begini seharusnya kau berada di meja kerjamu mengurusi angka-angka itu?”
“Angka-angka? Angka-angka apa? Aku tak pernah mengurusi angka-angka!”
“Gaji para kuli-kuli itu!”
“Aku tak pernah berurusan dengan angka-angka dan kuli-kuli!” teriakku, menggetarkan telunjuknya yang menuding-nuding di wajahku.
“Oh!…Benarkah?…Maaf. Kukira kau salah satu kuliku.” Dia tersadar, setengah ragu melihat kesungguhan amarahku, lalu perlahan beringsut pergi, setelah sejenak menyempatkan diri untuk memperbaiki letak dasinya yang jadi miring oleh kegusarannya sendiri.
Apa dia buta?…Tapi kau jugakah itu?
*
Dari ujung jalan berlari seorang bocah beringus terisak, tertekan. Bapaknya di belakang mengejar, menghardik-hardik. Bocah itu terus menerobos di antara orang-orang lalu-lalang, menyebrang.
Seorang Tante pesolek baru turun dari sedan mewah, ditemani seorang pemuda yang entah anak lelakinya, entah siapa. Baru saja dia menggandeng pemuda itu menuju lobby sebuah hotel berbintang, si bocah beringus menerobos di sela-sela mereka, berlindung diri dari kejaran bapaknya. Terlepas si Tante memaki;
“Anak setan!”
Si bocah malah mendekap rapat di bokong si Tante yang jadi kejiji’an itu.
“Ih…!”
“Mami!” rintih si bocah beringus minta perlindungan.
Si Bapak bocah itu mendekat, menarik anaknya dari bokong Tante yang kian melotot.
“Kalau kau tak mau jadi tentara, jadilah penjaga pintu kereta! Kau akan tetap melindungi jagad raya!” hardik si Bapak.
“Tidak! Aku tak mau jadi apa-apa!” bantah si bocah sambil kembali mendekap bokong si Tante yang kini semakin hangat baginya. “Mami!”
“Eh, dasar anak setan!” si tante kembali menghujat.
“Apa kau bilang?” protes si bapak, tak suka anaknya disebut setan. “Kau kira kau sendiri bukan setan?”
“Apa?” si tante melotot.
“Sudahlah…” si pemuda mencoba melerai.
“Tidak! Ini penghinaan kejam! Aku tidak pernah rela membiarkan siapapun menghina anakku seperti itu!” tegas si bapak, mulai naif.
“Anak ini sudah mengotori bajuku dengan ingusnya! Dan cuma anak setan yang berani melakukannya!” si tante membela diri, degil.
“Jadi kau merasa terhina karena ingusnya?”
“Tentu saja! Karena ingusnya ini menempel di bokongku!”
“Kalau begitu kau memang pantas diingusi karena bokongmu yang songgeng itu juga telah menghina hidung anakku!”
“Apa? Songgeng?…Dasar setan!”
“Sudah, sudah…” si pemuda sekali lagi melerai.
“Tidak!…Kau dengar sendiri aku dihina seperti itu! Apa kau senang mendengar bokongku dibilang songgeng? Seharusnya kau juga ikut tersinggung! Atau barangkali kau anggap itu sebagai berkah karena bokongku diingusi anak setan ini?”
“Begini…” si pemuda mencoba berargumen.
“Ah, sudahlah!” si tante memotong. “Kaupun setan juga kalau begitu! Kita semua memang setan-setan lapar! Ya, setan lapar dari dunia yang lapar!”
“Kalau mau jadi setan, jangan bawa-bawa saya dan anak saya ini!” si bapak kembali protes.
“Bodo amat! Kalau kubilang semua, itu juga termasuk kamu dan anak ingusan kamu itu! Semua kita ini adalah setan!” amuk si tante, penuh kegusaran yang tak terduga.
Bapak si Bocah jadi keder, cuma bersungut bibir.
“Apa? Mau protes lagi?” tantang si tante. ”Sebaiknya kau ajari setan kecilmu itu agar dia tau bokong mana yang pantas buat ingusnya!” lanjut si tante, sambil tangannya meraih ujung kemeja si pemuda. “Ayo, sayang, kita masuk. Kedua setan ini tidak sebanding dengan kita!” Lalu sambil terus menggerutu, si tante berlalu menggandeng si pemuda masuk ke lobby hotel berbintang itu.
“Dapet?” tanya si bapak pada anaknya, antusias.
“Ini…” si bocah mengacungkan dompet tebal milik si tante pesolek itu.
“Kita berhasil!…Ayo, kita lihat isinya. Pasti isinya duit semua!” ajak si bapak riang, sambil menggandeng anaknya meninggalkan tempat itu.
Lagi, sirene ambulan meraung di kejauhan. Aku mengayuh lagi segenap langkah. Kulihat kau senyum, menghantu di kepalaku. Aku mengkais-kais lagi sebuah mimpi.
*
“Tuntutan? Tuntutan apa? Sungguh bebal kalau kau menghendaki juga tuntutan itu. Tidak ada itu istilah perubahan! Tuntutan semacam itu tidak akan pernah bisa merubah nasibmu! Bahkan sebaliknya, kau akan lebih menderita lagi karenanya! Ingkarilah dirimu sendiri, sebab kalau tidak, kau akan kehilangan nafkahmu karena membantah ketentuanku!” kira-kira begitu kata majikanku suatu kali ketika aku mengajukan tuntutan perbaikan nasib padanya.
“Kalau aku jadi dirimu, sudah kusingkirkan dia dari dulu.” Hasut si pelukis padaku.
“Dia memang begitu.” Belaku.
“Dan kau mau saja digitukan?”
“Aku cari makan!”
“Cari makan! Tapi dirimu sendiri dimakan orang!”
Oh, sebenarnya tak ingin kuingat lagi hal ini. Kepalaku berputar-putar jadinya. Hasutan si pelukis itu telah benar-benar membelah kesadaranku. Aku memang telah terpuruk dalam kenistaan. Telah kuhabiskan sebagian hidupku dalam dunia sunyi berkarat. Aku semu. Hidupku nyaris tak berarti apa-apa, bahkan hampa. Kutenggelamkan eksistensiku pada pengabdian buta demi sebongkah harap, mengelak lapar dan mati.
Akulah si babu! Bagai anjing kurap yang kurus kering mengendus-endus telapak kaki sang tuan, menjilati tempurungnya demi seganjal lapar! Oh, kesempurnaan derita dari cacat nasib yang kusandang ini telah mengakar di kedalaman jiwaku. Inilah keluhan sumbang warisan moyangku, jelmaan budaya sesat yang sangat ampuh membenam indera-inderaku di kegelapan malam!…Jangan ini!…Jangan itu!… Jangan…ah, dengung-dengung jangan itu kian memagar kokoh mengungkung di sekitarku!
“Masokistis!” hujat si pemusik padaku.
“Apa katamu?”
“Kau senang menderita, ya?” ejeknya.
“Tidak.”
“Buktinya mau saja kau diperlakukan seperti itu.” Lanjutnya.
“Heh, kau kan manusia!” si pelukis menimpali.
“Memangnya kenapa?”
“Seharusnya kau berontak diperlakukan seperti itu!”
“Ya, kau anjingnya, apa?” pancing si pemusik.
“Bukan!” tangkisku.
“Nah, majulah sekarang! Tunjukkan padanya bahwa kau seorang manusia!” hasutnya, kian runcing.
“Apa?”
“Heh, semakin sempurna kau jadikan dia tuanmu, semakin tak sempurna kau jadi manusia!” katanya, menjabarkan.
“Aku tak mengerti…”
“Dungu! Semakin sempurna kau jadikan dia penguasamu, semakin sempurna kekuasaannya itu menindasmu! Kau akan tertindas selamanya, sepanjang hidupmu!”
Sepanjang hidup aku tertindas…selamanya? Benarkah?…Tapi di mana aku kini? Mau apa aku?…Oh, lagi-lagi kau menghantu di benakku!
*
Ruang ini sesak dan penat. Orang-orang itu mirip para penjaja janji. Mengobral obrolan sana-sini - menghamburkan metoda dan teori-teori. Di meja panjang di tengah-tengah pesta terhampar beragam hidangan lezat. Suara-suara mereka bergemuruh bagai lebah-lebah penyengat, berkerumun menggerogoti sisa-sisa perjamuan. Mereka adalah para tokoh terkemuka negeri ini, yang kudengar datang dari berbagai pelosok kota. Tokoh-tokoh masyarakat yang dengan segenap semangat, mengadu perspektif dan pemikiran-pemikiran kritis tentang bagaimana keluar dari krisis yang menghimpit negeri ini. Aku menelan lagi sebuah tanya; “akankah dunia telanjang lewat krisis?…”
*
Pagi membuka hari. Kehidupan seolah dimulai kembali. Tapi yang dulu-dulu tak juga terlampaui. Waktu demi waktu hanyalah opini dari opini. Berputar-putar, menggeliat-geliat sampai usang dengan sendirinya. Aku meregang kantuk. Namun kulihat kau masih berseri, mengulum senyum mencibir di tengkukku. Lihat orang-orang itu kini. Kau akan tau, berjubal hantu sedang menggelantung di kepala-kepala mereka.
*
Jalanan padat oleh himpitan kendaraan-kendaraan merayap. Asap dan debu berkabut menyelimuti tampang-tampang kusut orang-orang itu. Suara-suara makian tak jarang terlontar pedas di telinga. Bunyi klakson menyuarakan kegeraman. Deru knalpot menghujat, gusar. Mata-mata mereka meredup penuh curiga, menampakkan kegamangan dan ketakberdayaan atas situasi yang tercipta.
“Ongkosnya, pak.” Si kenek menagih.
Si bapak memberikan ongkosnya.
“Kurang dua ratus!” si kenek menuntut.
Si bapak jadi gusar. Sambil terus melotot ia berikan lagi selembar uang lima ratusan pada si kenek. Lalu ia beranjak hendak turun.
“Ini kembaliannya, pak.” Kata si kenek.
“Nggak usah! Makan aja tuh duit!” jawab si bapak, seolah penuh dendam yang meradang, dalam, lalu melompat turun dari mikrolet.
Si kenek jadi bertekuk. Tapi ia kantongi juga uang kembalian si bapak itu sambil terus menagih ongkos pada penumpang lain. Terlepas juga gerutuannya; “Gara-gara BBM naik, gue yang kesemprot! Sompret!”
Ya, terik matahari kian menyengat. Peluh membanjir deras di sekujur tubuhku. Tapi kukira kau tak begini. Seperti orang-orang di sedan mewah itu. Bersandar di jok belakang sambil membaca kehidupan di kertas koran. Tetap berlalu disopiri, walau semalam orang-orang gelisah antri di pom-pom bensin untuk sekedar melepas kenangan akan harga BBM yang lama. Aku cuma berpagut, kelu.
*
Lagi, temaram langit merah ternoda teriakan kasar para anarkis. Jalan berdebu, berasap hitam. Orang-orang dengan tampang tegang penuh curiga, ketakutan akan sesuatu yang entah apa, namun terasa penuh ancaman yang bisa menghujam siapa saja. Di sana segerombol pemuda dan orang-orang penuh amarah, kian gahar meneriakan penderitaan mereka. Di mana-mana makian dan hujatan terdengar bagai badai mengguntur.
Sepi di batinku, tak seperti yang terlihat di jalan itu. Entah untuk keberapa kalinya kubertanya. Tak jua jawab terpuaskan di kepalaku. Namun kau masih juga menari riang menghantuiku. Seperti dulu, kau hadir lagi berkecamuk, membayang di setiap mata dan tengkuk orang-orang itu. Bergidik-gidik, penuh rasa muak. Kau rupanya tak lagi perduli, atau entahlah, aku tak tahu pasti. Kukira kau tengah menghemat energimu untuk mengkais-kais negeri ini menjadi serpihan-serpihan sampah busuk. Atau barangkali kau kini tengah terbahak, terpingkal-pingkal melihat tanda-tanda prestasimu yang kian nyata ini. Kurasakan kepuasanmu, seperti kurasakan kuasamu menginjak-injak ketakberdayaan rakyat bangsaku. Kau kangkangi dunia, seperti kau beraki kakimu sendiri!
*
Ah, lagi! Sampai kapan aku dihantui terus tentang kau? Sepertinya kau sengaja memenati kepalaku dengan bualan-bualan kejammu itu. Belum lagi selesai kukunyah yang satu, kau telah sesaki aku dengan yang lain. Kau pikir aku senang menanggungkan semua ini? Kau kira siapa yang telah melegitimasimu, hingga kau nampak semakin asyik dengan kesewenang-wenanganmu? Apa kau kira kekuasanmu itu telah menjadikan kau Tuhan? Setan!
*
Waktu langit memerah, tatkala senja temaram merayapi batas langit…tatkala tiada lagi terdengar desis bisikmu mendengung di tengkukku, aku rindu. Tak kumengerti jua mengapa bayang taringmu yang nyata telah memperdayaku itu, kini justru membuatku merindu? Ah, ini juga pasti ulahmu! Kau telah racuni kepalaku dengan pesona semumu yang bagai pohon duri merayap tumbuh menusuk-nusuk di sepanjang perjalananku. Kau juga yang tahu, aku terperangkap di medan nistamu!
*
Lagi, kuhirup udara segar dan embun pagi. Lagi, terhempas debu dan asap polusi. Di langit, awan-awan hitam bagai jamur merekah-rekah. Garis-garis sinar mentari menembus batas-batas ilusi. Di sudut negeri, darah tertumpah lagi. Di setiap penjuru kota, mengantri orang lapar berdesak-desakan rebutan rezeki. Kau lagi!
*
Kini senyap, tak bersuara lagi para pengoceh. Bungkam entah oleh lelah atau kepuasan sesaat. Namun dalam hening ini bergemuruh sesuatu yang amat dashyat, siap meledak entah kapan. Aku pasti. Kukira selama kau masih bercokol di setiap kepala orang-orang ini, siapapun yang akan menjadi pemimpin bangsaku takkan pernah bisa mengibarkan bendera kedamaian. Entah sampai kapan…atau, barangkali sampai kau bosan!
*** AGT ***
Kelapa Gading, 11 November 1998
Asmara Gt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda tertarik? Mau membahas? Atau mau mengkritik? Silahkan tuliskan apa saja di kolom komentar ini.