In between the line

“Lelah...” 
Itulah kata pertama yang termuntah dari kedua bibirmu. Dan aku cuma diam, persis seperti biasa ketika kamu muntahkan keluh-kesahmu, seperti itu juga diamku. Mungkin hanya itu yang kubisa. Sebab untuk apa lagi kata-kata kalau seluruh jiwaku telah mengamini maksud dari ucapan-ucapanmu? Raut wajahku tentu mengekspresikan hal yang sama persis seperti yang kamu mau. Atau adakah guratan di wajahku yang telah menggambarkan penolakan hasrat yang begitu besar kamu harapkan lahir dari setiap reaksiku? Tentu saja tidak. Aku tau pasti bukan jawaban verbal yang kamu inginkan dariku. Aku percaya sebab hati kita pernah bertaut satu, meski hanya dalam kurun waktu yang amat singkat itu. Tapi di saat sebelum kamu mulai keluhmu itu, aku sejenak tersesak muak. Tiba-tiba saja perlakuanmu terhadapku yang dulu pernah membuatku terluka itu menyelusup kembali ke dalam ingatanku. Kekinianku seketika lebur membaur dalam samar-samar masa lalu kita yang tak semestinya itu. Aku tenggelam liar melampaui masa-masa itu, meski keluh-kesahmu terus berhamburan menerpa telinga dan hatiku. Taukah kamu betapa sangat memuakkannya momen ini bagiku? Tapi kamu tetap berkeluh-kesah juga. Kamu tak perduli betapa aku kini tengah terkoyak-koyak.

Dulu di sini pernah tertanam perasaan yang begitu menggelora- yang kerap menumbuhkan sejuta hasrat yang sepertinya tak pernah terpuaskan. Aku dan kamu mungkin tak pernah menyadarinya. Meski ada sebongkah tanda yang sangat jelas terbersit dari seribu senyuman dan gelak tawa yang lahir dari situasi-situasi yang tercipta. 

Keakraban kita bukanlah keakraban yang dangkal yang biasa tercipta di antara berjuta manusia yang hidup di jaman ini. Keakraban kita tidaklah lahir dari tendensi-tendensi. Kita adalah pengecualian dari seribu kasus yang kerap membayangi hubungan antara seorang dengan orang lain. Kita tidak sama dengan mereka. Aku berani pastikan itu sebab aku sendiri dapat mencernanya dengan sepenuh kejujuranku. Persahabatan kita tidaklah lahir dari kebutuhan-kebutuhan. Persahabatan kita justru lahir dari ketiadaan harapan.  Dan kamu...masih juga tak tersadarkan. Kamu tetap berkeluh-kesah menghamburkan kata-kata yang mungkin kamu sendiri juga tak memahami maksudnya. Aku juga tetap sama. Tetap diam menjadi tumpahan keluh-kesahmu itu. Kenapa? Aku sendiri juga tak mau tau. Aku hanya sadari diriku sebatas fungsi yang kamu butuhkan. Seperti sebuah wadah yang tak bergeming menampung curahan air meski tertumpah-tumpah tak sanggup menampung seluruh airnya. Maka untuk apa lagi air yang jatuh tertumpah itu selain penghamburan yang tak perlu? Dan diamku juga sesungguhnya tak perlu. Aku tau, ini hanya kesia-siaan. Aku tau ini suatu penghamburan. Aku tau kamu juga tau akan kesia-siaan ini. Dan aku yakin kamu juga tau kalo aku tau bahwa kesia-siaan ini sangat memuakkan! Lantas, untuk apa lagi pertemuan ini harus kita bela? Untuk apa lagi keluh-kesahmu itu kamu tumpahkan padaku? Mengapa kita tak pernah mau mengakhiri saja semua ini seperti yang pernah sama-sama kita inginkan dulu? Ah, pasti jawabmu juga sama. Persis seperti saat-saat dulu itu. 

Aku kan pernah bilang sama kamu soal kenapa hubungan kita selalu berakhir dengan pilu. Aku selalu bilang begitu sama kamu karena kamu selalu gak perduli pada apa yang seharusnya kita jaga. Memang saat itu gak ada satupun dari kita yang tersakiti. Tapi seharusnya kamu tau kalupun saat itu kita baik-baik saja, tapi keadaan kita belum tentu akan selalu sama. Benar, kan? Sekarang apa yang terjadi? Sakit, kan? Aku juga! Apa kamu tetap masih mau memungkiri kalo keperdulian itu perlu, meski cuma secuil? Aku bukan mau mempersoalkan apa-apa yang gak aku suka. Bukan. Sama sekali aku gak sepicik itu. Apa yang aku inginkan itu sebenarnya lahir dari keadaan yang ada di antara kita. Yang aku minta itu bukan kebutuhanku semata. Tapi kebutuhan kita. Aku minta sama kamu untuk kita. Tapi kamu selalu gak mau. Kamu gak ngerti, itu soalnya. Kamu selalu mengira permintaan aku itu hanya sebuah pinta. Kalo untuk diriku sendiri, aku  gak butuh kamu beri. Aku bisa mengupayakannya sendiri. Mestinya kamu tau itu!

Ah, sudahlah. Akan semakin dalam nanti kebencian kita kalo saling mengungkit begini. Biarlah yang lalu biar berlalu. Kita perbaiki saja apa-apa yang masih mungkin  kita perbaiki. Dan kamu...astaga! Kamu masih mengoceh juga! Betapa kata-kata jadi gak ada harganya buat kamu! Semuanya mengucur begitu saja. Kamu tau gak sih, kalo dengan kata-kata itu kamu bisa memabangun beribu makna? Bahkan jutaan maksud akan bisa kamu wujudkan... dengan semua kata-kata itu! Betapa irinya orang bisu kalo melihat kamu sekarang ini. Pasti mereka akan mengutuk kamu karena kata-kata yang mereka dambakan untuk bisa mereka ucapkan hanya terhambur begitu saja dari mulutmu, tanpa ada gunanya sedikitpun!  Maaf, maaf...aku bilang begitu karena memang saat ini semua ucapan kamu itu gak berguna sama sekali, baik untuk diriku maupun buat diri kamu sendiri! 

Kamu paham kan kenapa aku cuma diam? Karena aku ingin kamu tau kalo dalam diamku, lebih banyak makna yang bisa aku sampaikan buat kamu! 

Asmara Gt.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda tertarik? Mau membahas? Atau mau mengkritik? Silahkan tuliskan apa saja di kolom komentar ini.