Entah untuk keberapa kalinya, sejak kita mulai mau memperbaiki kembali hubungan kita - setelah kamu mengajak aku untuk berpisah - aku merasa semua perlakuan kamu ke aku hanyalah sebagai upaya untuk menyulut kebencianku. Aku yakin itu. Aku percaya pada kepekaan perasaanku. Kamu cuma mau mempermainkan aku. Karena sesungguhnya kamu sudah tak punya perasaan apa-apa lagi padaku. Semua kata cinta, rindu, sayang, kangen ingin ketemu - dalam berbagai macam bentuknya, adalah lip service semata - yang pada mulanya semua itu kuanggap sebagai ungkapan perasaan yang sebenarnya, yang memupuk perasaan cintaku padamu semakin besar, semakin berbunga-bunga. Ya. Tak kuragukan lagi.
Aku cinta padamu. Cinta yang apa adanya, yang kemudian jadi gamang, penuh keraguan dan curiga oleh tanda-tanda yang sering kuterima dari sikap-sikap palsu dan menyakitkan dari kamu. Kamu porak-porandakan perasaanku. Kamu lukai hatiku. Kamu hancurkan cintaku dengan segala yang muncul dari kepalsuanmu itu. Perlahan, namun pasti…kamu buat cintaku bergeser jadi benci.
Ya. Semua itu bagai perwujudan sebuah skenario besar yang kamu rancang untuk membuat aku membenci kamu - supaya kamu sampai pada tujuan kamu semula, untuk bisa berpisah dari aku. Sebuah skenario yang rapi, yang disusun dengan sangat cerdik, yang terbangun oleh aksi-aksi kecil sampai terakumulasi menjadi klimaks. Hingga akhirnya aku mengakui kesuksesan kamu menjalankan skenario kamu itu. Karena kini aku benar-benar sangat membenci kamu.
Pada mulanya kamu sering melontarkan candaan-candaan kering yang menyakitkan aku lewat SMS. Kamu sering bertingkah aneh-aneh, seolah kamu tak betah berada di dekatku. Seringkali kamu menunjukkan kegelisahan yang dibuat-buat seakan kamu sedang menunggu orang lain yang kamu cinta. Ya. Kamu lakukan semua itu untuk membunuh kepercayaanku padamu. Kamu pupuk kecurigaanku, kamu sulut kecemburuanku agar aku tak tahan, supaya aku segera mencampakkan kamu.
Kamu tak tahu betapa besar artimu bagi diriku. Kamu tak mengerti betapa cintaku padamu begitu tulus hingga kalaupun kamu memintanya, aku rela melakukan apapun yang kamu mau. Itu tak berlebihan buatku, itu adalah suatu ekspresi yang wajar dari perasaan yang kumiliki untuk kamu. Bukankah itu juga yang selalu kamu harapkan dariku? Kamu bilang, kamu cinta padaku, sayang…dan banyak lagi ungkapan dari segala yang kamu harapkan dariku. Kamu tahu, aku selalu berusaha membuktikannya untuk kamu. Tapi kamu selalu ragu. Kamu selalu menganggap semua upaya pembuktian cintaku itu sebagai upaya yang dibuat-buat. Kamu meragukan ketulusan cintaku. Itulah soalnya. Kamu tak percaya diri. Kamu mengira cintaku adalah sesuatu yang mustahil bisa kamu dapatkan, hingga kamu lebih memilih menganggapnya sebagai suatu kebohongan. Hingga kamu merasa perlu memprotek diri dari kemungkinan kekecewaan yang lebih dalam. Kamu tutup hati kamu untuk perasaan cinta yang sebenarnya. Kamu dustai perasaan kamu sendiri.
Bukan saatnya kini menyesali apa yang telah terjadi di antara kita. Juga pertemuan kita dulu. Juga hari-hari di mana kita pernah menuai mimpi, termabuk oleh gelora melodramatik akan sebuah harapan untuk saling memiliki. Namun yang pasti, sejak saat itu hingga kini…cinta terus tumbuh dalam hati kita, yang sekarang ini justru sedang kamu ingkari. Dan pengingkaran itulah yang kini mengkoyak-koyak hatiku. Juga hatimu sendiri, barangkali. Dan luka ini kini menuntut untuk disembuhkan, karena sesungguhnya hati kita yang telah ditumbuhi cinta itu…sama-sama tak ingin terluka.
“Aku cinta kamu…tapi aku tau, aku gak mungkin bisa milikin kamu…” begitu yang sering kamu bilang ke aku.
“Nggak, En…apa yang kita rasakan sekarang ini aja udah membuktikan kalo kita bisa saling memiliki. Cinta yang ada pada kita bukannya tumbuh begitu aja. Alamlah yang mempertemukan kita. Dan alam jugalah yang menebarkan benihnya hingga cinta itu tumbuh…dan kita sama sekali nggak punya kekuatan untuk melawannya,” begitulah yang selalu aku katakan untuk menentramkan kamu. Dan kamu juga selalu setuju, karena pada dasarnya kamu juga nggak bisa menyangkal kebenaran itu.
Memang, apa yang selalu menjadi kegelisahan kamu adalah melulu soal etika dan moral. Kekuatan itu yang sering berperang dengan perasaan-perasaan kamu. Aku akui, sedikit-banyak, apa yang menjadi pemicu tindakan kamu ini adalah karena kamu sudah tak tahan menjadi medan pertempuran dari dua kebenaran dalam diri kamu itu. Melihat kenyataan itu, aku juga tak boleh semena-mena menuduh kamu tak punya cinta sama sekali terhadapku. Namun yang selalu aku sayangkan, kamu selalu mengorbankan perasaan cinta kamu itu demi sebuah penilaian etis, normatis! Kamu lebih memilih tersiksa menahan rindu ketimbang kamu akan disebut sebagai perusak rumah tangga orang. Kamu lebih memilih dibilang nggak punya perasaan daripada harus menerima julukan sebagai perempuan penggoda suami orang. Kamu benar! Semua orang pasti akan membenarkan kamu kalo melihat dari kaca mata etis-normatis itu! Siapapun akan membela kamu, En! Tapi coba, apakah kamu pernah melihatnya dari perspektif lain?
Aku perlu memberikan penilaian tersendiri mengenai kamu. Setidaknya dari perspektif subjektifku sendiri, karena dalam hal ini aku sama sekali tak memakai kaca mata normatif, tapi kaca mata kebenaran itu sendiri. Moga-moga pandanganku ini bisa menjawab semuanya, bisa mewakili sekian perspektif yang ada. Baik, begini. Aku cinta kamu karena aku tau betul arti kamu buat hidupku. Orang boleh saja menganggap aku bejat, tak punya adat, atau apapun sebutannya…terserah. Tapi semua ini aku lakukan demi keutuhan rumah tanggaku! Maafin aku, En…jangan tersinggung dulu. Ini aku katakan supaya kamu tau persis persoalannya. Bukan aku sengaja ingin memanfaatkan kamu untuk tujuanku itu. Tapi sebaiknya kamu simak aku dulu sampai aku selesai.
Kamu tau, cintaku padamu hanyalah cinta. Cinta saja, yang apa adanya. Yang tumbuh begitu saja tanpa dorongan hasrat, namun mengakar di hatiku secara alami. Tapi cintaku pada istri dan anak-anakku telah terbebani segunung tendensi dan sederet pamrih. Rumah tanggaku telah menjelma menjadi penjara tanggung-jawab dan kewajiban. Ruang-ruangnya telah menjadi seperti kotak-kotak di papan catur. Hitam-putih, melangkah-langkah dari itu ke itu. Dari aturan yang satu ke aturan yang lain. Membuat keakraban kami menjadi dangkal. Hubungan kami menjadi rutinitas kelu, kaku, bahkan penuh formalitas dan palsu. Aku percaya, keadaan semacam itu bukan barang langka bagi siapa saja yang mengaku dirinya pernah berumah tangga. Hanya saja setiap orang punya cara tersendiri untuk mengatasinya. Atau, barangkali banyak juga yang tidak memilih cara apapun untuk mengatasinya, diam, menjalaninya saja seolah semua itu sebagai suatu hal biasa. Dan apabila terjadi perpecahan atau sesuatu yang diakibatkan oleh keadaan itu, mereka lebih suka menganggapnya sebagai takdir atau keharusan nasib semata. Hingga perceraian menjadi fenomena biasa di masyarakat kita.
Aku tak ingin perceraian itu terjadi dalam hidupku. Apapun boleh kulakukan untuk mempertahankan keutuhan rumah tanggaku. Aku ingin tetap menjadi suami dari istriku, ayah dari anak-anakku. Aku ingin membina rumah tanggaku dengan cinta. Bukan tanggung-jawab dan kewajiban semata. Cinta. Ya. Meski cinta itu kudapat dari kamu!
“Omong kosong! Itu cuma justifikasi perselingkuhan yang udah terlanjur kamu lakukan dengan perempuan itu! Udah bejat, bejat aja. Nggak usah sok mencari pembenaran segala!” kadang kudengar suara itu menggema dari sudut hatiku.
Tidak! Sebagian hatiku yakin, inilah kebenaran. Karena dapat langsung kurasakan hasilnya. Semakin aku mencintai kamu, semakin aku mampu mencintai istri dan anak-anakku! Semakin aku ingin memiliki kamu, semakin tak rela aku jauh dari keluargaku! Itulah kebenarannya! Dengan bermodalkan cinta yang kudapat dari kamu, aku jadi mampu mencairkan kekeluan, kekakuan, formalitas, bahkan kepalsuan yang ada dalam rumah tanggaku. Dengan cinta yang kudapat dari kamu, aku jadi benar-benar mengerti bagaimana mencintai mereka. Dengan cinta yang kudapat dari kamu, aku jadi benar-benar mengerti bahwa aku begitu mereka cintai. Dengan cinta yang aku dapat dari kamu, aku jadi benar-benar mengerti arti mereka buat hidupku. Itulah arti kamu. Jadi jangan kamu kira diri kamu cuma jadi perusak rumah tangga orang. Kamu dan cinta kamu itu justru yang memperkokoh rumah tanggaku!
Bagian Dua
Hari ini adalah hari pertama tanpa kehadiran kamu. Aneh. Kosong dan hening. Biasanya jam segini kamu nelpon aku, menanyakan gimana keadaan aku, udah makan apa belum, semalam mimpi apa…dan banyak lagi pertanyaan lain untuk menunjukkan perhatian kamu padaku. Tapi sekarang, waktu berlalu begitu saja. Jam demi jam, hingga pagi menjadi sore, lalu malampun datang dan kesenyapan hatiku pun makin lengang. Aku gelisah kini. Kenangan akan kamu begitu deras menyeret-nyeret hatiku. Hingga aku tak kuasa lagi menahan arus gelombang itu, dan kubiarkan diriku terhisap oleh kekuatan yang teramat dahsyat…yang kini menenggelamkanku ke dasar samudra kenangan akan kamu.
Seperti sering kukenangkan sore itu. Sore yang pernah menjembatani antara aku dan kamu. Sore itu, aku memarkir mobilku di sebuah taman yang biasa aku singgahi pada jam-jam macet. Entah kenapa, aku langsung teringat kamu. Ya. Kamu yang selalu ceria, yang tawamu selalu menggema di telinga ingatanku. Bagaimana mungkin tawa kamu itu tak melekat erat di hatiku. Mungkin juga di hati teman-teman kamu yang lain, tawa kamulah yang paling dominan dan selalu paling riang di antara teman-teman sekelas kamu. Bahkan tawa kamu itu juga yang memperkenalkan kamu ke aku. Kamu ingat?
Waktu itu sedang diadakan rapat para staf pengajar di kampus kita. Para staf pengajar merasa terganggu oleh gelak tawa kamu dan teman-teman kamu di luar ruang. Tentu saja aku tak termasuk yang merasa terganggu. Aku justru merasa penasaran, apa yang membuat cewek seperti kamu bisa tertawa begitu keras? Oleh rasa penasaranku itulah aku mengajukan diri pada para staf pengajar lain untuk menegur kamu dan teman-teman kamu itu. Tapi kamu tau, apa yang terjadi setelah aku sampai di tengah-tengah kalian? Aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menegur kamu. Tapi aku malah terpana oleh gelak tawa kamu! Waktu itu kamu belum sadar kalo tawa kamu telah membuat aku terpana. Dan lucunya, begitu kamu tau ada aku di situ, mendadak sontak tawa kamu terhenti dan tubuh kamu menciut seperti pohon putri malu yang tersentuh ujung sepatu. Dan ekspresi kamu itu…oh, my God! Itulah ekspresi wajah yang terindah dari seorang gadis yang pernah aku lihat seumur hidupku! Dan dengan lugunya kamu bilang, “ketawa saya menganggu, ya?” Aku hampir-hampir tak bisa menahan geli. Aku cuma mengangguk ke kamu dan cepat-cepat berbalik untuk menyembunyikan tawaku. Ya, kamu tau. Waktu itu kan aku masih dosen kamu. Jadi aku merasa perlu jaga image. Ingat sekarang? Aku tak tau gimana perasaan kamu yang sebenarnya waktu itu. Karena sejak kita sudah saling dekatpun aku enggan untuk menanyakannya ke kamu. Aku tak ingin kamu jadi merasa malu karena hal itu. Tapi begitulah. Itulah saat-saat pertama pertemuan kita.
Saat ini, empat tahun sesudah kejadian itu, dan dari kurun waktu sepanjang itu, kira-kira hampir setengahnya kita tak pernah ketemu. Tapi kamu tau, sejak kejadian itu, ada sesuatu yang tumbuh dalam diriku, yang membuat aku selalu teringat kamu, dan yang sekarang ini begitu mendesak-desak diriku untuk mengungkapkannya ke kamu.
Lama kurenungkan sebelum akhirnya kuputuskan untuk menghubungi kamu lewat sms. Ya. Aku kumpulkan segenap keberanianku untuk memulai komunikasi dengan candaan yang kutulis, “Heh, ngelamun!” Begitu saja kukirim sms itu tanpa mengharapkan balasan dari kamu. Lalu kukantongi lagi ponselku dan kembali tercenung di dalam mobilku. Tapi tak berapa lama, tiba-tiba ada getaran aneh di dadaku dan kuyakin itu bukan berasal dari nada getar ponselku. Aku hampir tak percaya begitu kubuka pesan sms itu. Itu dari kamu! Kamu membalas smsku! Lalu cepat-cepat kubalas lagi. Dan kamu juga balik membalas, hingga tak terasa komunikasi kita telah menguntungkan provider pulsa ponsel kita. Terus begitu, hingga hari berganti hari, dan sampailah kita pada momentum itu. Ya. Momentum bagi terjalinnya dua hati yang ternyata telah sekian lama saling mendamba.
Bagian tiga
Genap delapan bulan, katamu, kita menjalin hubungan tanpa ikatan yang jelas. Hanya perasaan kita saja yang menjadi pengikat hubungan itu. Namun tak bisa kupungkiri, mungkin kamu juga begitu, kalau hubungan tanpa ikatan yang jelas itu sesungguhnya telah menjadi perekat batin kita untuk selalu saling mengikat. Kita bisa merasakannya dengan sangat mantap, bahwa di bulan-bulan permulaan terjalinnya hubungan kita itu adalah bulan-bulan yang penuh bunga. Indah. Tak terlupakan. Itulah bulan-bulan dimana kita saling termabuk. Bulan-bulan penuh keunikan, karena sekaligus kita mampu menjalankan dua kehidupan dalam setiap kesempatan, di mana kita bisa menjadi sangat piawai dalam memainkan sinyal-sinyal cinta kita di antara riuh canda teman-teman kita yang lain, menyembunyikannya sekaligus memupuk cinta itu dalam batin kita masing-masing. Bahkan hingga saat ini, teman-teman terdekat kitapun tak pernah mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi dalam batin kita. Untuk hal itu, aku sungguh salut sama kamu.
“Nit, nit…nit, nit!” bunyi sinyal sms. Pasti dari kamu. Benar. Kubaca; “Kamu…aku udah di Atlantic, kamar 503. cepetan, lho…aku gak bisa lama. Besok aku mesti kerja.”
Kupacu mobilku menuju Hotel Atlantic. Dalam waktu lima belas menit aku sudah berdiri di depan pintu kamar 503. Kuketuk. Dan seperti biasa, wajah kamu yang sok lugu itupun menyembul di celah pintu, senyum. Lalu seketika menarik aku masuk.
“Lama bener, sih?” rengek kamu.
“Iya. Aku mesti nyari alesan buat bisa pisah dari temen-temenku.” Jawabku.
“Terus mereka nanya, gak, kamu mau kemana?”
“Ya, nanyalah! Terus aku bilang aja, mau nemuin temen lama.”
“Mereka gak curiga, kan?”
“Ngapain pake curiga segala. Kamu tau. Mereka taunya aku ini orang baik-baik. Nggak mungkin mereka nyurigain aku macem-macem. Udah, deh…yang penting aku udah di sini sekarang. Yuk, ah…!” ajakku. Dan seterusnya…kamu tau apa yang terjadi.
Ya. Aku tahu pasti, percakapan-percakapan semacam itu tak berpengaruh sedikitpun dalam pertemuan rahasia kita. Karena memang bukan itu intinya. Seperti juga malam itu, kita begitu lihai mempermainkan suasana hingga membuat kita sekejap tenggelam, hanyut dalam keremangan kamar hotel, di antara kerjapan chanel MTV yang entah sedang memutar lagu siapa.
Itu hanya sebagian saja dari sekian banyak pertemuan rahasia yang sering kita lakukan. Hampir tak ada yang istimewa. Just having sex. That’s all! Seolah-olah apa yang sering kita sebut-sebut sebagai cinta, sayang, rindu…semuanya hanya berakhir di kamar hotel!
Begitulah, apa yang terjadi pada kita saat itu membuat aku pada akhirnya membenarkan juga apa yang dibilang orang, bahwa tumbuhnya cinta membutakan indra. Hingga aku sendiri tak bisa lagi membedakan mana dorongan cinta, mana dorongan nafsu. Yang aku tahu, aku termabuk oleh cinta kamu. Setiap saat, tiap detik, yang kuingat hanya kamu. Kamu mendominasi hidupku hampir setiap waktu sepanjang saat itu. Hingga akhirnya kamu juga yang menyadarkan aku untuk melihat kembali kenyataan yang ada. Kamu juga yang membangunkan aku dari mimpi-mimpi yang melenakan tentang kamu. Kamu lepaskan ketergantunganku akan kamu. Kamu hentikan suapan kasih kamu setelah aku terbiasa menyantapnya dari kamu. Kamu membuat aku mengendus-endus, menjilati tapak kaki dari jejak-jejak hitam yang tertinggal oleh perjalanan kita. Hingga akhirnya aku terpuruk di ujung jalan yang terjal. Dan di sana kusadari bahwa tak akan pernah kujumpai lagi kamu!
Hanya delapan bulan, katamu, kita menjalin hubungan tanpa ikatan yang jelas. Delapan bulan. Tapi dalam waktu sekejap itu, kamu telah membuat aku berkubang di tanah becek!
Bagian Empat
Kamu lukai lagi hatiku. Kali ini teramat dalam, sampai aku merasa tak mungkin lagi bisa disembuhkan. Betapa tidak? Kuanggap perlakuanmu yang terakhir ini sebagai tindakan penghapusan diri kamu sendiri dari hidupku. Nyaris tanpa sebab yang jelas, yang sampai kini tak bisa kupahami. Apa salahku, sampai kamu begitu tega memaki-maki aku dengan makian-makian yang kejam itu? Kamu hina aku sampai tak ada lagi hargaku di matamu!
Tapi itulah hikmah kegelapan dari sepercik kenangan akan kamu. Sadarkah kamu akan perlakuan kamu ke aku itu? Kamu tau, semakin kamu maki aku dengan hinaan kasar dan keji itu, satu demi satu kenangan akan kamu terhapus dari ingatanku! Tapi kamu terus memaki aku. Kamu hina aku habis-habisan, hingga tak ada lagi kenangan akan kamu yang tersisa dalam ingatanku! Habis. Dan kamu sendiri yang menghabiskannya dengan kebencian kamu yang tak berdasar itu. Kamu telah mengakhiri hubungan ini dengan menyayat luka hatimu sendiri.
Pilihanku untuk diam bukan karena dendam atau balasan perlakuan kamu padaku itu. Bukan. Semoga kamu tak sepicik itu, sekalipun kebencian sedang mengakar di benakmu. Aku diam karena aku tak pernah punya keinginan untuk membenci kamu. Sekalipun kamu kerap torehkan luka baru di atas luka hatiku. Begitu juga apa yang terjadi pada malam itu. Aku sama sekali tak bereaksi, selain mensyukuri setiap keinginan kamu untuk tak mau berhubungan lagi denganku. Aku pasrah. Meski akan kujalani hidupku tanpa kehadiran kamu lagi sama sekali.
Juga ketika kamu titipkan surat kamu itu untukku;
“Hai…sebelumnya sorry, aku pake acara nulis surat segala…karena aku tau pasti gak bakalan bisa ngomong kalo di depan kamu. Pertama-tama aku mau minta maaf karena aku udah gak konsekuen sama omonganku, aku bilang sama kamu kalo gak akan ganggu kamu. Tapi…tetep aja tangan ini selalu gatel pengen mencet no HP kamu, atau nulis sms dan dikirim ke HP kamu. Pada dasarnya, aku pengen kita ketemuan untuk kebutuhan aku sendiri sih…karena aku tau kamu udah gak mau atau males mempermasalahkannya lagi. Tapi bagi aku penting! Kamu…aku sayang kamu. Aku belom siap kamu cuekin! Aku mau kamu tetep kayak dulu sama aku. Kamu selalu bilang kalo apa yang aku omongin ke kamu cuma manis di bibir aja. Itu sama sekali gak bener, aku bener-bener sayang kamu, butuh kamu…itu aku rasain dari lubuk hatiku yang paling dalem. Mungkin dari luar aku kelihatan cuek dan seolah-olah mempermainkan perasaan kamu, tapi sebenernya aku bisa ngerasain apa yang kamu rasain. Aku begitu di depan orang karena aku sendiri gak tau harus ngapain, aku gak bisa nunjukin perasaan aku sama kamu di depan orang.”
Aku tanya, apa yang kamu mau dari aku dengan surat kamu itu? Jawab kamu, “aku gak mau kamu pergi dari aku.” Lalu kataku, “Lho, bukannya kamu sendiri yang kepingin aku pergi dari kamu? Aku udah coba bertahan. Tapi perlakuan-perlakuan kamu begitu menyakitkan. Aku jadi anak kecil yang belajar mengenal api, sampai aku tau kalo api itu benar-benar panas.”
Asmara Gt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Anda tertarik? Mau membahas? Atau mau mengkritik? Silahkan tuliskan apa saja di kolom komentar ini.