HARI KESEKIAN (Cerpen)

Jalan sepi menjulur menjauh, memuncak menuju langit. Senja berbinar memerah, menerpa bebatuan dan pucuk-pucuk ilalang.

Galau batinku tatkala roda-roda kereta meluncur deras menyebrangi kota-kota. Mungkin juga di benakmu ada rontaan yang sama dalam senja merah ini, seperti rasa ini telah menjalari pembuluhnya di nadiku, menunggangi kerelaanku, menikam-nikam kesadaranku, memasung kejujuranku!

Ah, nada-nada apa ini? Fenomena apa ini? Negeri apa yang kurangkaki ini?
“Di mana kita sekarang?” kutanyai juga lelaki tua yang sejak tadi terbungkuk menatapku.
“Di atas roda,” katanya.
“Lho, bukankah kita sudah lama turun dari kereta?”
“Ya, tapi kita tidak pernah turun dari roda!”
“Maksud bapak?”

Diam dia. Dipilinnya secomot tembakau menjadi sebatang rokok, lalu menghembuslah dari sela bibirnya yang keriput itu sekepul asap, seolah menjawab desakanku. Lalu tertatih ia menyingkir meninggalkanku ternganga.

Tapi sungguh, aku tersesat! Di mana aku kini? Roda-roda apa yang telah kutumpangi sampai aku terdampar di sini? Apa benar ada suatu kekuatan yang sangat halus, yang selama ini merasuk dan melenakan diriku sampai aku terapung-apung dalam kenyataan ini? Apakah kekuatan ini juga yang telah begitu sempurna menebarkan harumnya, hingga selama ini ratusan juta orang tak mampu menyadari…penderitaan tengah mengancam hidup mereka? Coba, jawab pertanyaanku!

Ya, senja merayap. Waktu menuntut-nuntut putarannya. Aku linglung. Mungkin kaupun juga begitu. Seperti ilalang-ilalang itu bertumbuh dan kini bergoyang liar dengan binar-binar merahnya menggelap, senyap. Tak ada lagi derai sorak tersisa, gegap membakar harap. Tak juga kabut bergelut menggayuti lelah. Tapi aku terkatung lagi sebuah tanya…hendak ke mana arus ini bermuara?

Kota ini asing. Debu-debunya kering menghempas-hempas. Langkah-langkah orang kian terasa kepanikannya. Kekeluan menghujam di wajah-wajah mereka. Suara-suara nafas mendengus para pekerja. Lengking dan jerit berita membahana. Dengung protes menghujat para penguasa. Makian sumbang para penertib. Desis-desis iba para pengemis. Senandung miris terseok-seok mengalun dari sudut-sudut jalan, seolah merangkak bangkit dari derita. Doa-doa usang ibunda menyayat pilu meratapi dosa-dosa anaknya.

Satu lagi kereta lewat menderit di persimpangan. Bunyi sirine ambulan meraung di kejauhan. Aku menghitung langkah, menjabarkan berkah. Tapi mungkin kau lelah. Seperti kelelahan puncak gedung-gedung tinggi itu menggapai-gapai langit. Seperti ilalang-ilalang itu yang terus bergoyang, bosan terkibas angin kepalsuan. Aku melenguh, menghembus keluh.

Kau? Oh, ya…di mana kau kini? Terakhir kita saling menukar benci di ujung hari. Rindu juga aku kini. Tiada lagi sapa sejak saat itu antara kita. Aku menjauh, kau menjarak. Walau kita masih saling memberi tanda, saling mengulur tanya. Namun kau dan aku hanya kertas-kertas kosong yang kian mendamba makna! 

Aku menggapai, kau menjelang - menebar khayal di kehampaan - menekuri jejak-jejak yang tertinggal - mengkais mimpi dan sisa-sisa ilusi - mengutuki penat keharuan sesak pada jiwa-jiwa pongah penuh dusta dan nista!

Entah hanyut. Entah ingkar. Entah terpuruk. Entah lapar. Entah tanya tak mereda. Entah jera tak mendera. Tak juga ngilu tulang-tulang kita berderit rampak dalam kurun waktu bersama keluh dan damba. Bersama derita dan luka-luka.

Lalu usang. Lalu legenda. Lalu sejarah terulang. Lalu hening kembali merayapi celah-celah retak kehidupan…kita.

“Minggir! Minggir! Bapak mau lewat!” kira-kira begitu bunyi yang terdengar dari erangan sirine para pengawal konvoi di jalanan macet itu. Aku terkaget. Erangan sirine para pengawal itu telah membuyarkan lamunan akan kau.

*

Suara-suara berita kian rancu menggema dari pojok-pojok kota. Anak-anak negeri terbangkit menghimpun bekal, mengayuh harap menerjang ketimpangan-ketimpangan. Tertatih langkah mengkaji jagat. Tersesak nafas menjebol tirani. Terpasung nurani membongkar pagar-pagar eksistensi.
Ah, cakrawala itupun kini melingkar tanpa batas, menerobos gelap lengkung-lengkung gemawan, membentang membentur-bentur tiang perahu. Bukit-bukit karang angkuh merunduk, menghukum diri. Riak ombak berdesak-desak meliar memburu alurnya. Cahaya pudar memerah tak lagi tersisa. Gelaplah mulai. Cuma kerlip lampu-lampu nelayan terombang-ambing memantul-mantul melukis diri di riak samudra.

Aku limbung kini. Aku terbakar dendam. Kaupun kukira mengerti - kala kuasa bernuansa bening itu menggayuti jati diri. Kau ingat? Ya, barangkali kau ingat. Perangkap itu! Ya, perangkap yang menyebalkan itu! Yang telah mengubah keluguan kita jadi kedunguan kanak-kanak. Yang telah mencirikan kejujuran dan ketulusan hati kita sebagai ekspresi dari pemberontakan dan pembangkangan! Ingat?… Bahkan bagai buluh perindu, bagai iklan dan propaganda, membuai-buai angan kita…meninabobokan kepekaan kita… menenggelamkan kesejatian hidup kita! Pesona duniapun bahkan sekejap terserap habis olehnya. Mengering dan kerontang. Namun rasa aman dan kemapanan kita rupanya diam-diam telah melegitimasi kekuasaan bening itu menjadi ikatan yang tak pernah lekang! Oh, siapa kau sebenarnya? Bahkan saat-saat seperti ini, saat orang-orang tengah dilanda kekhawatiran akan ancaman kebangkrutannya, pesonamu masih saja membayang di mata batinku!

“Hey, kau!…Sini!” tiba-tiba seseorang berpakaian serba gemerlap, berhidung mancung, berkulit pucat dan bermata sipit memanggilku dengan jarinya mengacung tegas ke arahku.
“Hey, sini!” ulangnya.
Tapi, nampak di wajahnya yang gusar penuh geram itu menghampiriku. Lalu tegap ia berdiri mengangkangiku.
“Mau kemana lagi kau? Kau tak akan pernah bisa lepas dariku! Apa kau kira dirimu telah mampu berdiri dengan kepalmu yang gemetar itu untuk meninju dunia?…Apa kau kira dunia hanya sebulat tekadmu?”
“Apa?…Tentang apa ini!” aku meronta.
“Bukankah pada jam-jam begini seharusnya kau berada di meja kerjamu mengurusi angka-angka itu?”
“Angka-angka? Angka-angka apa? Aku tak pernah mengurusi angka-angka!”
“Gaji para kuli-kuli itu!”
“Aku tak pernah berurusan dengan angka-angka dan kuli-kuli!” teriakku, menggetarkan telunjuknya yang menuding-nuding di wajahku.
“Oh!…Benarkah?…Maaf. Kukira kau salah satu kuliku.” Dia tersadar, setengah ragu melihat kesungguhan amarahku, lalu perlahan beringsut pergi, setelah sejenak menyempatkan diri untuk memperbaiki letak dasinya yang jadi miring oleh kegusarannya sendiri.
Apa dia buta?…Tapi kau jugakah itu?

*

Dari ujung jalan berlari seorang bocah beringus terisak, tertekan. Bapaknya di belakang mengejar, menghardik-hardik. Bocah itu terus menerobos di antara orang-orang lalu-lalang, menyebrang.

Seorang Tante pesolek baru turun dari sedan mewah, ditemani seorang pemuda yang entah anak lelakinya, entah siapa. Baru saja dia menggandeng pemuda itu menuju lobby sebuah hotel berbintang, si bocah beringus menerobos di sela-sela mereka, berlindung diri dari kejaran bapaknya. Terlepas si Tante memaki;
“Anak setan!”
Si bocah malah mendekap rapat di bokong si Tante yang jadi kejiji’an itu.
“Ih…!”
“Mami!” rintih si bocah beringus minta perlindungan.
Si Bapak bocah itu mendekat, menarik anaknya dari bokong Tante yang kian melotot.
“Kalau kau tak mau jadi tentara, jadilah penjaga pintu kereta! Kau akan tetap melindungi jagad raya!” hardik si Bapak.
“Tidak! Aku tak mau jadi apa-apa!” bantah si bocah sambil kembali mendekap bokong si Tante yang kini semakin hangat baginya. “Mami!”
“Eh, dasar anak setan!” si tante kembali menghujat.
“Apa kau bilang?” protes si bapak, tak suka anaknya disebut setan. “Kau kira kau sendiri bukan setan?”
“Apa?” si tante melotot.
“Sudahlah…” si pemuda mencoba melerai.
“Tidak! Ini penghinaan kejam! Aku tidak pernah rela membiarkan siapapun menghina anakku seperti itu!” tegas si bapak, mulai naif.
“Anak ini sudah mengotori bajuku dengan ingusnya! Dan cuma anak setan yang berani melakukannya!” si tante membela diri, degil.
“Jadi kau merasa terhina karena ingusnya?”
“Tentu saja! Karena ingusnya ini menempel di bokongku!”
“Kalau begitu kau memang pantas diingusi karena  bokongmu yang songgeng itu juga telah menghina hidung anakku!”
“Apa? Songgeng?…Dasar setan!”
“Sudah, sudah…” si pemuda sekali lagi melerai.
“Tidak!…Kau dengar sendiri aku dihina seperti itu! Apa kau senang mendengar bokongku dibilang songgeng? Seharusnya kau juga ikut tersinggung! Atau barangkali kau anggap itu sebagai berkah karena bokongku diingusi anak setan ini?”
“Begini…” si pemuda mencoba berargumen.
“Ah, sudahlah!” si tante memotong. “Kaupun setan juga kalau begitu! Kita semua memang setan-setan lapar! Ya, setan lapar dari dunia yang lapar!”
“Kalau mau jadi setan, jangan bawa-bawa saya dan anak saya ini!” si bapak kembali protes.
“Bodo amat! Kalau kubilang semua, itu juga termasuk kamu dan anak ingusan kamu itu! Semua kita ini adalah setan!” amuk si tante, penuh kegusaran yang tak terduga. 

Bapak si Bocah jadi keder, cuma bersungut bibir.
“Apa? Mau protes lagi?” tantang si tante. ”Sebaiknya kau ajari setan kecilmu itu agar dia tau bokong mana yang pantas buat ingusnya!” lanjut si tante, sambil tangannya meraih ujung kemeja si pemuda. “Ayo, sayang, kita masuk. Kedua setan ini tidak sebanding dengan kita!” Lalu sambil terus menggerutu, si tante berlalu menggandeng si pemuda masuk ke lobby hotel berbintang itu.

“Dapet?” tanya si bapak pada anaknya, antusias.
“Ini…” si bocah mengacungkan dompet tebal milik si tante pesolek itu.
“Kita berhasil!…Ayo, kita lihat isinya. Pasti isinya duit semua!” ajak si bapak riang, sambil menggandeng anaknya meninggalkan tempat itu.

Lagi, sirene ambulan meraung di kejauhan. Aku mengayuh lagi segenap langkah. Kulihat kau senyum, menghantu di kepalaku. Aku mengkais-kais lagi sebuah mimpi.

*

“Tuntutan? Tuntutan apa? Sungguh bebal kalau kau menghendaki juga tuntutan itu. Tidak ada itu istilah perubahan! Tuntutan semacam itu tidak akan pernah bisa merubah nasibmu! Bahkan sebaliknya, kau akan lebih menderita lagi karenanya! Ingkarilah dirimu sendiri, sebab kalau tidak, kau akan kehilangan nafkahmu karena membantah ketentuanku!” kira-kira begitu kata majikanku suatu kali ketika aku mengajukan tuntutan perbaikan nasib padanya.
“Kalau aku jadi dirimu, sudah kusingkirkan dia dari dulu.” Hasut si pelukis padaku.
“Dia memang begitu.” Belaku.
“Dan kau mau saja digitukan?”
“Aku cari makan!”
“Cari makan! Tapi dirimu sendiri dimakan orang!”

Oh, sebenarnya tak ingin kuingat lagi hal ini. Kepalaku berputar-putar jadinya. Hasutan si pelukis itu telah benar-benar membelah kesadaranku. Aku memang telah terpuruk dalam kenistaan. Telah kuhabiskan sebagian hidupku dalam dunia sunyi berkarat. Aku semu. Hidupku nyaris tak berarti apa-apa, bahkan hampa. Kutenggelamkan eksistensiku pada pengabdian buta demi sebongkah harap, mengelak lapar dan mati. 

Akulah si babu! Bagai anjing kurap yang kurus kering mengendus-endus telapak kaki sang tuan, menjilati tempurungnya demi seganjal lapar! Oh, kesempurnaan derita dari cacat nasib yang kusandang ini telah mengakar di kedalaman jiwaku. Inilah keluhan sumbang warisan moyangku, jelmaan budaya sesat yang sangat ampuh membenam indera-inderaku di kegelapan malam!…Jangan ini!…Jangan itu!… Jangan…ah, dengung-dengung jangan itu kian memagar kokoh mengungkung di sekitarku!

“Masokistis!” hujat si pemusik padaku.
“Apa katamu?”
“Kau senang menderita, ya?” ejeknya.
“Tidak.”
“Buktinya mau saja kau diperlakukan seperti itu.” Lanjutnya.
“Heh, kau kan manusia!” si pelukis menimpali.
“Memangnya kenapa?”
“Seharusnya kau berontak diperlakukan seperti itu!”
“Ya, kau anjingnya, apa?” pancing si pemusik.
“Bukan!” tangkisku.
“Nah, majulah sekarang! Tunjukkan padanya bahwa kau seorang manusia!” hasutnya, kian runcing.
“Apa?”
“Heh, semakin sempurna kau jadikan dia tuanmu, semakin tak sempurna kau jadi manusia!” katanya, menjabarkan.
“Aku tak mengerti…”
“Dungu! Semakin sempurna kau jadikan dia penguasamu, semakin sempurna kekuasaannya itu menindasmu! Kau akan tertindas selamanya, sepanjang hidupmu!”
Sepanjang hidup aku tertindas…selamanya? Benarkah?…Tapi di mana aku kini? Mau apa aku?…Oh, lagi-lagi kau menghantu di benakku!

*

Ruang ini sesak dan penat. Orang-orang itu mirip para penjaja janji. Mengobral obrolan sana-sini - menghamburkan metoda dan teori-teori. Di meja panjang di tengah-tengah pesta terhampar beragam hidangan lezat. Suara-suara mereka bergemuruh bagai lebah-lebah penyengat, berkerumun menggerogoti sisa-sisa perjamuan. Mereka adalah para tokoh terkemuka negeri ini, yang kudengar datang dari berbagai pelosok kota. Tokoh-tokoh masyarakat yang dengan segenap semangat, mengadu perspektif dan pemikiran-pemikiran kritis tentang bagaimana keluar dari krisis yang menghimpit negeri ini. Aku menelan lagi sebuah tanya; “akankah dunia telanjang lewat krisis?…”

*

Pagi membuka hari. Kehidupan seolah dimulai kembali. Tapi yang dulu-dulu tak juga terlampaui. Waktu demi waktu hanyalah opini dari opini. Berputar-putar, menggeliat-geliat sampai usang dengan sendirinya. Aku meregang kantuk. Namun kulihat kau masih berseri, mengulum senyum mencibir di tengkukku. Lihat orang-orang itu kini. Kau akan tau, berjubal hantu sedang menggelantung di kepala-kepala mereka.

*

Jalanan padat oleh himpitan kendaraan-kendaraan merayap. Asap dan debu berkabut menyelimuti tampang-tampang kusut orang-orang itu. Suara-suara makian tak jarang terlontar pedas di telinga. Bunyi klakson menyuarakan kegeraman. Deru knalpot menghujat, gusar. Mata-mata mereka meredup penuh curiga, menampakkan kegamangan dan ketakberdayaan atas situasi yang tercipta.

“Ongkosnya, pak.” Si kenek menagih.
Si bapak memberikan ongkosnya.
“Kurang dua ratus!” si kenek menuntut.

Si bapak jadi gusar. Sambil terus melotot ia berikan lagi selembar uang lima ratusan pada si kenek. Lalu ia beranjak hendak turun.
“Ini kembaliannya, pak.” Kata si kenek.
“Nggak usah! Makan aja tuh duit!” jawab si bapak, seolah  penuh dendam yang meradang, dalam, lalu melompat turun dari mikrolet.

Si kenek jadi bertekuk. Tapi ia kantongi juga uang kembalian si bapak itu sambil terus menagih ongkos pada penumpang lain. Terlepas juga gerutuannya; “Gara-gara BBM naik, gue yang kesemprot! Sompret!”

Ya, terik matahari kian menyengat. Peluh membanjir deras di sekujur tubuhku. Tapi kukira kau tak begini. Seperti orang-orang di sedan mewah itu. Bersandar di jok belakang sambil membaca kehidupan di kertas koran. Tetap berlalu disopiri, walau semalam orang-orang gelisah antri di pom-pom bensin untuk sekedar melepas kenangan akan harga BBM yang lama. Aku cuma berpagut, kelu. 

*

Lagi, temaram langit merah ternoda teriakan kasar para anarkis. Jalan berdebu, berasap hitam. Orang-orang dengan tampang tegang penuh curiga, ketakutan akan sesuatu yang entah apa, namun terasa penuh ancaman yang bisa menghujam siapa saja. Di sana segerombol pemuda dan orang-orang penuh amarah, kian gahar meneriakan penderitaan mereka. Di mana-mana makian dan hujatan terdengar bagai badai mengguntur. 

Sepi di batinku, tak seperti yang terlihat di jalan itu. Entah untuk keberapa kalinya kubertanya. Tak jua jawab terpuaskan di kepalaku. Namun kau masih juga menari riang menghantuiku. Seperti dulu, kau hadir lagi berkecamuk, membayang di setiap mata dan tengkuk orang-orang itu. Bergidik-gidik, penuh rasa muak. Kau rupanya tak lagi perduli, atau entahlah, aku tak tahu pasti. Kukira kau tengah menghemat energimu untuk mengkais-kais negeri ini menjadi serpihan-serpihan sampah busuk. Atau barangkali kau kini tengah terbahak, terpingkal-pingkal melihat tanda-tanda prestasimu yang kian nyata ini. Kurasakan kepuasanmu, seperti kurasakan kuasamu menginjak-injak ketakberdayaan rakyat bangsaku. Kau kangkangi dunia, seperti kau beraki kakimu sendiri!

*

Ah, lagi! Sampai kapan aku dihantui terus tentang kau? Sepertinya kau sengaja memenati kepalaku dengan bualan-bualan kejammu itu. Belum lagi selesai kukunyah yang satu, kau telah sesaki aku dengan yang lain. Kau pikir aku senang menanggungkan semua ini? Kau kira siapa yang telah melegitimasimu, hingga kau nampak semakin asyik dengan kesewenang-wenanganmu? Apa kau kira kekuasanmu itu telah menjadikan kau Tuhan? Setan!

*

Waktu langit memerah, tatkala senja temaram merayapi batas langit…tatkala tiada lagi terdengar desis bisikmu mendengung di tengkukku, aku rindu. Tak kumengerti jua mengapa bayang taringmu yang nyata telah memperdayaku itu, kini justru membuatku merindu? Ah, ini juga pasti ulahmu! Kau telah racuni kepalaku dengan pesona semumu yang bagai pohon duri merayap tumbuh menusuk-nusuk di sepanjang perjalananku. Kau juga yang tahu, aku terperangkap di medan nistamu! 

*

Lagi, kuhirup udara segar dan embun pagi. Lagi, terhempas debu dan asap polusi. Di langit, awan-awan hitam bagai jamur merekah-rekah. Garis-garis sinar mentari menembus batas-batas ilusi. Di sudut negeri, darah tertumpah lagi. Di setiap penjuru kota, mengantri orang lapar berdesak-desakan rebutan rezeki. Kau lagi!

*

Kini senyap, tak bersuara lagi para pengoceh. Bungkam entah oleh lelah atau kepuasan sesaat. Namun dalam hening ini bergemuruh sesuatu yang amat dashyat, siap meledak entah kapan. Aku pasti. Kukira selama kau masih bercokol di setiap kepala orang-orang ini, siapapun yang akan menjadi pemimpin bangsaku takkan pernah bisa mengibarkan bendera kedamaian. Entah sampai kapan…atau, barangkali sampai kau bosan!

*** AGT ***



Kelapa Gading, 11 November 1998 
Asmara Gt. 

JANGAN ADA CINTA DALAM PERTEMANAN KITA

Sejak pertama kita ketemu, gue udah bilang kalo gue gak mau ada cinta dalam pertemanan kita. Dan elo juga sepakat, kan? Tapi gue sama sekali gak ngira semuanya jadi gini. Gue juga gak bisa nyalahin elo kalo tiba-tiba elo bilang elo suka ama gue, elo sayang, elo cinta. Gue juga gak nyalahin diri gue sendiri kalo gue udah biarin hal itu sampai terjadi. Gue cuma…bener, gue gak tau harus gimana!

Samuel, gak ada cowok lain yang paling deket sama gue selain elo. Bener. Cuma elo yang ngertiin gue. Elo udah jadi temen gue sejak kita sama-sama di SMP. Banyak hal-hal indah kita laluin bersama. Bahkan yang paling gak enak sekalipun pernah kita laluin berdua.

Elo masih inget Pak Ramdani, kan? Itu, guru olah raga yang pernah salah kira sama kita, yang nyangkain kita pacaran. Saking keselnya elo sama dia, elo sampe ngempesin ban motornya. Terus besokannya elo dipanggil kepala sekolah buat mempertanggungjawabkan perbuatan elo itu. Inget?

Iya. Pasti elo inget. Karena habis itu elo jalan sama gue berdua ke pinggir danau Sunter. Elo ngeluh ke gue habis-habisan soal Pak Ramdani dan Kepala Sekolah kita yang botak itu. Elo gandeng tangan gue, bantu gue nyebrangin jalan. Bener, kan?

Ah, tapi udahlah. Gue tau kok, apa yang indah dulu, sekarang udah jadi kenangan yang gak enak buat diinget. Pasti elo juga nganggepnya gitu, kan? Gue tau, elo juga lagi berusaha  ngelupain kalo elo pernah kenal gue. Pasti. Kejadian waktu itu bakal bikin siapapun bisa saling benci. Apalagi cuma antara elo ama gue. Gue yakin, karena gue juga benci ama elo, seperti juga mungkin elo benci ama gue sekarang ini. Tapi asal elo tau, gue gak pernah ngarepin kejadian itu sampe terjadi, Sam. Apalagi ampe bikin kita jadi saling benci gini. Ampe gue harus kehilangan seorang sahabat yang…gue…cinta.

Ya, ampuuun! Cinta? Sorry. Gue terpaksa nyebut gitu, karena gue gak tau lagi harus nyebut rasa ini sebagai rasa apa. Emangnya salah, apa, kalo gue nyebutnya sebagai…cinta? Karena elo emang sahabat gue yang…gue cinta, Sam. Gue gak bisa bohongin diri gue sendiri. Tapi gue emang bener-bener…cinta ama lo!
Gue akuin, gue juga baru bener-bener ngerasainnya waktu  itu juga, kok. Gue sadar, gue juga ternyata punya perasaan yang sama ama elo. Perasaan yang pernah gue benci waktu elo pertama kali nyatainnya ke gue. Gue emang gak bisa nerima waktu itu. Gue langsung melotot begitu lo bilang suka ama gue. Tapi itu karena gue juga sebenernya suka ama elo, Sam. Cuma, gue…uuh, gue emang munafik waktu itu. Sebel gak, sih! Gue emang sok! Sok konsekwen megang komitmen kita untuk gak ada cinta dalam pertemanan kita! 

Mungkin elo orang yang paling keras ketawanya kalo tau apa yang lagi gue rasaain sekarang ini. Tapi Sam, gue jujur. Gue kehilangan elo. Gue kangen ama lo! Elo mau maafin gue kan, Sam?

Minggu keempat sekarang. Empat minggu setelah elo cabut dari Jakarta. Gue ngerasa empat minggu ini kayak di neraka. Iya, bayangan wajah elo yang jadi penyiksanya.

Dua

Tanpa kehadiran elo di kampus bikin gue gak bergairah sama sekali. Bahkan Pak Renald, dosen MKDU kita, pernah negur gue abis-abisan karena nilai gue pada jeblok. Terus si Terry, yang elo tau dari semester satu selalu merasa jadi saingan gue, sekarang makin merasa di atas angin mengira bakal ngalahin nilai-nilai gue. Gue gak bermaksud nyalahin lo karena kepergian lo udah bikin gue jadi begini, Sam. Tapi kan gue gak bisa bohong kalau gue sangat kehilangan elo! Elo, tuh…duuh, gue bahkan gak akan pernah bisa nemuin lagi sumber energi kayak yang gue dapetin dari elo! Meskipun si Rommy, cowok sok keren yang paling digandrungin cewek-cewek sekampus lagi berusaha deketin gue, tapi dia gak ada seujung kuku di mata gue dibandingin lo, Sam! 

Kenapa sih lo mesti pergi dari gue? Kenapa sih waktu sebelom lo pergi, kita gak saling jujur aja kalo kita sebenernya saling suka? Iya, iya. Gue yang salah! Elo mau bilang apa, kek, gue gak peduli. Pokoknya gue tau kalo gue…gue sayang banget ama elo. Gue tersiksa karena elo pergi, tau!...Sam!…Pulang, dong!

Yaaa…air mata lagi! Gue kok jadi cengeng gini, sih? 
When we hungry…love will keep us alive!”…Duuh, siapa sih yang nyetel tuh lagu! Matiin, dong! Please, gue lagi berdarah-darah, neh!
Sam, coba elo ada di sini. Gue pasti gak bakal kayak gini, deh. Sumpah! Elo, tuh…duuh, masak gue cuma hayalin elo doang, sih! Gue pengen elo bener-bener hadir di depan mata gue! Gue pengen elo bener-bener dateng, trus meluk gue dari belakang! Nyibakin rambut gue yang nutupin mata, ngapusin air mata gue, trus…yaaaa…ngayal lagi kan, tuuuh! Kok, elo tega sih bikin gue jadi gini, Sam! Saaaaaaam!

“Tok, tok, tok!” suara pintu.
“Siapa!” gue paling sebel diganggu kalo lagi gini.
“Gue, Nin!” 
“Gue siapa? Sebut nama! Gue males buka pintu kalo gue gak kenal ama lo!” 
“Ya, ampuuun! Ini gue. Ami!”
“Hah?”
Ami? Ngapain si gentong malem-malem gini ke kamar kost gue? Uuh! Cewek satu ini udah gak keitung ngeselinnya, tau gak.
“Nin, elo lagi ngapain, sih?” si Ami bersuara lagi.
“Elo mau ngapain ke sini?”
“Buka dulu, dong. Kok lo gitu, sih?”
Ah, emang rese’ tuh anak! Paling cuma mau ngerumpi. Gak tau diri, lagi. Bener aja, kan. Begitu gue bukain pintu, dia langsung nyungsep ke kasur gue. Diih, pokoknya nyebelin banget, deh!
“Eh, Nin…elo kenal si Melly, kan?”
“Iya. Kenapa, emang?”
“Bunting!”
“Hah!”
“Bener! Sekarang udah tiga bulan. Gue denger, sih…si Poltak yang buntingin. Sekarang lagi dicari-cari polisi!”
 “Hah!”
“Ah, kebanyakan hah, lo! Elo tau kagak si Melly di mana sekarang?”
“Mana gue tau!”
“Yeee, makanya mau gue ngasih tau! Dia dibawa orang tuanya ke Indramayu. Katanya di sono ada orang pinter yang bisa nolongin ngegugurin kandungan.”
“Hah?”
“Hah lagi, hah lagi! Elo lagi kenapa, sih?”
“Gak.”
“Kok, mata lo merah? Abis nangis, ye?”
“Ngantuk!”
“Alaaah, lo pasti lagi inget Samuel, kan?”
“Idih, kagak!”
“Hmmm, lagu lo! Gue kan tau mutu lo, Nin!”
“Idiiih, jangan sok tau deh lo, gentong! Udah, deh. Sono. Gue mau tidur. Ngantuk!”
“Elo gak mau tau lagi soal si Melly?”
“Gue udah tau. Dia lagi mau gugurin kandungannya, kan?”
“Iya. Tadi. Terusannya! Mau tau, gak?”
Dasar si gentong tukang rumpi! Tapi herannya gue selalu gak bisa ngelak dari dia! Enaknya diapain sih orang kayak gini!
“Nin! Yeee, ditanya malah bengong! Mau tau gak terusannya?”
“Ya, udah…cepetan! Gimana si Melly?”
“Barusan dia pulang dari Indramayu. Kalo gue liat, sih… perutnya udah kempes.”
“Kempes? Berarti udah…”
“Tunggu dulu. Gue belom selesai! Kempes, keliatannya doang. Tapi kalo ditegesin, kayaknya masih bunting!”
“Gimana sih, lo?”
“Iya. Terus gue langsung nanya ama dia. Katanya, sih… orang pinter yang di Indramayu itu udah meninggal. Makanya dia gak jadi ngegugurin kandungannya.”
“Lho, kok?…Trus?”
“Nah, lo penasaran juga kan? Sama. Gue lebih penasaran lagi! Karena, lo tau gak…ternyata orang tuanya bawa cowok dari Indramayu yang mau dijodohin ama si Melly!”
“Hah?”
“Hah, hoh, hah, hoh! Kagak ada yang lain apa reaksi lo selain hah, hoh, hah, hoh?”
“Tapi, kan…gak banget deh ih orang tuanya si Melly!”
“Emang!”
“Terus si Poltak, gimana nasibnya tuh anak?”
“Masih buron!”
“Iya. Kan setau gue, dia emang udah lama pacaran ama si Melly.”
“Bapaknya si Melly gak mau tau. Dia pengennya cepet-cepet ngawinin si Melly ama cowok Indramayu itu buat nutupin aib keluarga, katanya.”
“Terus si Melly, mau apa dia dikawinin gitu aja ama orang yang gak dia kenal sebelomnya?”
“Apaan! Orang cowok itu masih saudara bapaknya. Pasti udah saling kenal sebelomnya, kali.”
“Idiih, gue sih ogah dah jadi si Melly.”
“Lagian siapa yang mau jadiin elo kayak si Melly?”
“Kalo gue jadi si Melly, mending gue kabur dari rumah, dah!”
“Yeee, elo belom liat anaknya, sih. Elo tau, tampangnya kayak Nicholas Saputra!”
“Hah!”
“Hah lagi kan, tuh! Gue aja ampe mau nabrak tiang waktu dikenalin ama si Melly ke dia. Senyumannya, boow…duuuh…elo bayangin aja sendiri, deh…Nicholas Saputra lagi senyum waktu jadi Rangga! Ampuuuun!”
Gedubrak! 
“Apaan, tuh?”
“Tau. Lo liat dulu, sono!” 
“Ogah, ah! Ntar kalo hantu, gimana?”
“Yeee, kebanyakan nonton TV sih, lo! Jadi penakut gitu, tuh!”
“Ya, udah. Lo aja sono, liat. Ini kan kamar, lo.”
“Aduuh, gue ngantuk tau gak, sih! Sebelom lo dateng tadi gue udah mau tidur.” 
“Alaah, lo juga kebanyakan nonton tv! Takut juga kan, lo?”
Bunyi gedubrak kedengeran lagi dari luar. Busyet, deh. Si Ami yang badannya segede gentong gitu langsung loncat meluk gue. Gue ketindihan dia, ampe gak bisa nafas.
“Nin!” suara si Poppy dari kamar sebelah. “Suara apaan sih, tuh?” 
“Gak tau!” sahut gue, masih ketindihan badannya si Ami.
Kreeet! Pintu kamar gue kebuka. Si Poppy nongol, langsung ternganga liat gue ditindihin ama si Ami.
“Busyet! Lagi pada ngapain lo berdua?” 
“Tau nih, si Ami. Saking ketakutan denger suara gedubrak di luar ampe nindihin gue gini.”
“Lho, bukannya suara gedubrak asalnya dari sini?” tanya si Poppy sok polos.
“Bener, kok. Suara gedubrak itu dari luar.” Si Ami belain gue. “Gue lagi cerita ama si Nina soal si Melly, eh… tau-tau ada suara gedubrak gitu. Gue kira suara hantu, makanya gue jadi ketakuan ampe meluk si Nina gini, deh.”
“Yeee, tau, ah! Pokoknya gue denger suara gedubrak itu dari arah sini.” Bantah si Poppy. Gue jadi merengut.
“Gak, kok! Lo jangan nakut-nakutin kita dong, Pop!” si Ami jadi makin ketakutan.
Si Poppy balik lagi ke kamarnya ninggalin gue ama si Ami yang jadi saling pandang gak ngerti. Tiba-tiba…
Gedubrak!
“Suara gedubrak lagi!” Si Ami kontan mau lompat. Tapi sebelom gue ketindihan dia lagi, gue langsung ngelak.
“Eit, tunggu, tunggu!” gue beraniin diri ngintip keluar. Si Ami ngikutin gue di belakang. Suara gedubrak pelan-pelan berganti dengan suara kresek-kresek. Gue makin penasaran. Gak taunya suara kresek-kresek berasal dari kamarnya si Poppy. Gue ama si Ami jadi saling pandang lagi. Lalu kita berdua ngintip ke kamarnya si Poppy. Gila! Ternyata si Poppy lagi ama cowoknya, lagi…
Gedubrak!
Si Ami refleks lompat nubruk gue. Gue ketindihan lagi badannya si Ami yang segede gentong gitu! Busyet!

**

“Ding, dong…ding, dong!” bunyi jam bandul dua belas kali terdengar dari arah ruang Pudek. Anak-anak semester lima udah pada bubaran pulang. Gue liat mereka dari jendela kelas. Aduuuh, pak Sanusi kerajinan amat, sih! Gini hari masih getol aja ngajar. Udah dong, pak. Laper, neh!
“Keluarin kertas selembar. Jawab lima pertanyaan. Yang selesai duluan boleh pulang.” Perintah Pak Sanusi. 
Busyet! Kampus apaan sih, neh! Kayak di SMU aja!

Gue melangkah gontai ke tempat kost. Tau-tau punggung gue kerasa ada yang nyolek. Gue refleks nengok ke belakang. Gak taunya si Taslim dengan cengirannya yang kayak juragan oncom abis menang buntut. Untung aja dia pernah jadi temen baiknya si Samuel. Kalo kagak, uuuh…udah gue beri gigi kuningnya yang nongkrong balapan ama bibirnya itu.
“He, he, he…” yeee, dia malah cengengesan!
“Ngapain lo, nyolek-nyolek gue, Lim?” tanya gue, nahan sewot.
“Lo udah dapet khabar dari Samuel, belom?” tanyanya.
Gue geleng-geleng.
“Nih…” dia keluarin amplop lecek dari dalam tasnya yang dekil.
“Apaan, tuh?”
“Surat.”
“Buat gue?”
“Bukan. Tapi dia nitip salam buat lo.”
“Trus ngapain lo pake nunjukin surat itu ke gue?”
“Biar lo percaya kalo Samuel nitip salam buat lo.”
Duh! Nyesek juga seh dengernya. Sialan. Kok, Samuel gak ngirimin gue surat, tapi malah nitip salam ama kecoak kampuangan gini?
“Mau baca, gak?” desak Taslim.
“Lo aja deh yang bacain. Emang dia nulis apaan, sih”
“Nih, di sini dia bilang…”
Si Taslim bacain tulisan Samuel dengan tanpa perasaan. Gue cuman denger kata-katanya doang. Dan itu cukup nusuk hati gue juga.  
“Bilang sama si Nina. Gak usah mikirin gue lagi. Gue di sini juga udah coba lupain dia. Oh, ya…bilang juga ama dia. Gue udah terima puisi dia. Bagus juga, sih. Tapi gue gak suka puisi. Jadi gue gak ngerti apa maksudnya. Sekian. Salam buat temen-temen yang lain. Samuel.”
Kata-kata itu. Kata-kata dari seseorang yang setiap saat selalu jadi lamunan gue, yang kenangannya selalu mampir meniup-niup kuping hati gue. Sekarang dengan kata-kata itu…kata-kata yang dititipin lewat temennya yang juga sangat nyebelin itu…duuh, cinta. Kenapa gini seh, rasanya? Kok, endingnya gak enak bener sih? Samuel…lo tega! Lo bener-bener tega ama gue! Lo bener-bener udah bikin gue nyesel punya perasaan gini ama lo! Gue tau, seharusnya gue tetep megang komitment kita dulu! Seharusnya gue gak ikutin perasaan gue! Gue emang bego! Gue gak konsekwen! Trus…kalo gue udah sakit gini, siapa yang bisa nyembuhin?

***

Gue gak jadi ke tempat kost. Gue butuh mama, mau ngadu ama mama soal apa yang gue rasain sekarang ini. Tapi gak tau kenapa, gue pulang lewat depan rumahnya Samuel yang sekarang udah sepi, gak ada lagi yang nempatin. Dulu waktu SMP, setiap pulang sekolah, gue sering diajak Samuel mampir ke rumahnya ini. Dia punya ayunan dari ban bekas mobil bapaknya yang diiket tambang ke dahan pohon mangga di halaman belakang. Sekarang masih ada gak, ya? Gue pengen banget liat lagi ayunan itu. Bukan apa-apa. Soalnya gara-gara ayunan itu gue sempet masuk rumah sakit. Engsel tangan kiri gue lepas karena jatoh dari ayunan itu. Gue inget banget gimana tampangnya waktu itu. Saking paniknya liat gue jatoh, dia jadi keliatan bego banget tau gak, sih. Gimana gak bego? Udah jelas-jelas liat gue meringis-ringis kesakitan, eh, dia malah melongo doang! Tapi kejadian itu, tau gak sih…justru yang paling bikin gue makin deket ama tuh anak. Bayangin aja, tiap hari, sejak hari pertama gue dirawat di rumah sakit, dia tuh yang paling setia nemenin gue, ampe gue dinyatakan sembuh ama dokter dan gue boleh pulang. Duuh, masa lalu…kenapa indah bener sih dikenang-kenang?

“Nina?” tiba-tiba terdengar suara dari belakang gue. Gue yang lagi asyik melamun di ayunan ban bekas di belakang rumah Samuel, jadi tersentak. Waktu gue noleh, gue makin tersentak lagi. Ternyata yang nengur gue nyokapnya si Samuel.
“Tante…” gue buru-buru bangun dari ayunan, terus nyamperin nyokapnya Samuel, manggut-manggut gak jelas.
“Ngapain kamu di sini?”
“Mm…” jelas gue gak bisa jawab, dong. Cuma tangan gue yang beberapa kali nunjuk-nunjuk ke ayunan, gak tau maksudnya apa. Tapi gue rasa bukan sekedar buat nutupin gerogi gue.
“Ayunan?” nyokapnya Samuel gak ngerti.
“Iya, tante…ayunan…mmm, gak tau kenapa…saya kok tiba-tiba kepingin banget main ayunan itu.”
“Lho, kok…sama sih ama Samuel. Dia juga bilang gitu. Makanya dia minta tante kalo ke Jakarta suruh bawa ayunan itu ke Bali. Mau di pasang di sana, katanya. Padahal kan di sana juga banyak ban bekas yang bisa dibikin ayunan kayak gitu. Tapi dia tetep ngotot dan bilang kalo ayunan itu banyak kenangan manisnya, katanya.”
“Dia…dia bilang gitu, tante?”
“Alaah, anak itu emang suka macem-macem. Kenangan manis, kenangan manis apaan! Yang tante tau, ayunan itu malah pernah bikin kamu celaka, sampe dirawat di rumah sakit segala. Iya, kan? Apa itu yang dimaksud kenangan manis sama si Samuel?” nyokapnya Samuel terus ngocehin tentang anaknya. Gue jadi terbengong-bengong, bukan karena ocehan nyokapnya itu, tapi gue jadi terbayang-bayang lagi ama tampangnya yang bikin bioritmik gue gak karuan belakangan ini. Duuuh, Sam. Maksud lo apaan, sih? Apa elo pengen gue sadar kalo adanya cinta dalam pertemanan kita cuma akan bikin kita sakit begini?



Asmara Gt.