Dentang pintu kereta memekakkan hati. Kemarin, saat kau pergi, aku menangis sendiri. Kabut prahara merenggut malam-malamku, terberangus benci...punahkan mimpi-mimpi dan lumatkan keagungan cinta menjadi remah-remah roti.
Kau dan aku hanyalah sepenggal kenangan, sesobek kisah yang pernah mencoreng wajah kearifan. Tangisku bukanlah sesal sebab kepergianmu. Mestinya kau tau itu. Dulu, sebidang hatiku pernah bersemi cintamu. Dulu, kau dan aku pernah menyemainya bersama, merawat dan menumbuhkan bibit-bibit hasrat menjadi impian setinggi bukit. Buahnyapun sempat kita petik, manis...manis sekali. Semanis ikrar dan janji-janji. Ya, manis di bibir, tapi pahit sampai di hati.
Kau salahkan aku, aku menyalahkanmu sebab hasrat yang tumbuh dan berbuah manis itu ternyata penuh duri. Kerap aku tertusuk-tusuk dan terluka karenannya. Kaubilang, kita bukanlah petani yang pandai menyemai bibit asa menjadi rasa...yang piawai menumbuhkan impian jadi nyata. Kita hanyalah kurcaci yang hanya pandai menari, pemabuk yang hanya senang melenggang dengan botol-botol minuman dalam genggaman. Kita hanyalah para lebah durjana penghisap madu kenikmatan! Ya, ya, ya...kita ini hanyalah panggung tempat menarinya para iblis dan para setan!
Aku diam. Kau tau, duri itu apa? Pernahkah kau tau bagaimana rasanya tertusuk duri? Pasti kau tau. Pasti kau pernah. Dan pasti kau juga tau dari mana asalnya duri itu. Ya, kau tau pasti. Duri itu tumbuh dari sekelumit dusta yang kau dandani di wajah cantikmu itu hingga menjelma jadi topeng kepura-puraan! Dustamu melahirkan dusta yang lain. Menjadikan durimu kian runcing menghujam di ladang hatiku. Satu, lalu dua...lalu...nyata!
Dan kini...aku terkapar di sini tanpa hasrat, mengkaji satu dua sebab mengapa cintaku jadi benci dan ketulusanku jadi penuh tendensi.
Jauh...jauh...dan kuakui...doa yang tak berbekal kesungguhan hati hanyalah luapan keluh tak berarti.
Kau dan aku hanyalah sepenggal kenangan, sesobek kisah yang pernah mencoreng wajah kearifan. Tangisku bukanlah sesal sebab kepergianmu. Mestinya kau tau itu. Dulu, sebidang hatiku pernah bersemi cintamu. Dulu, kau dan aku pernah menyemainya bersama, merawat dan menumbuhkan bibit-bibit hasrat menjadi impian setinggi bukit. Buahnyapun sempat kita petik, manis...manis sekali. Semanis ikrar dan janji-janji. Ya, manis di bibir, tapi pahit sampai di hati.
Kau salahkan aku, aku menyalahkanmu sebab hasrat yang tumbuh dan berbuah manis itu ternyata penuh duri. Kerap aku tertusuk-tusuk dan terluka karenannya. Kaubilang, kita bukanlah petani yang pandai menyemai bibit asa menjadi rasa...yang piawai menumbuhkan impian jadi nyata. Kita hanyalah kurcaci yang hanya pandai menari, pemabuk yang hanya senang melenggang dengan botol-botol minuman dalam genggaman. Kita hanyalah para lebah durjana penghisap madu kenikmatan! Ya, ya, ya...kita ini hanyalah panggung tempat menarinya para iblis dan para setan!
Aku diam. Kau tau, duri itu apa? Pernahkah kau tau bagaimana rasanya tertusuk duri? Pasti kau tau. Pasti kau pernah. Dan pasti kau juga tau dari mana asalnya duri itu. Ya, kau tau pasti. Duri itu tumbuh dari sekelumit dusta yang kau dandani di wajah cantikmu itu hingga menjelma jadi topeng kepura-puraan! Dustamu melahirkan dusta yang lain. Menjadikan durimu kian runcing menghujam di ladang hatiku. Satu, lalu dua...lalu...nyata!
Dan kini...aku terkapar di sini tanpa hasrat, mengkaji satu dua sebab mengapa cintaku jadi benci dan ketulusanku jadi penuh tendensi.
Jauh...jauh...dan kuakui...doa yang tak berbekal kesungguhan hati hanyalah luapan keluh tak berarti.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus