Biarlah Rindu Hinggap di Ketetapan Takdirnya

Dulu, kau abaikan aku. Padahal mentari senja sedang indah-indahnya. Dulu, setiap syair kulagukan untukmu, setiap kata kurangkai menjadi puisi untukmu. Tapi kau lebih memilih gundahmu sendiri. Kau abaikan aku dan kau semai sendiri prasangkamu. Untuk apa?

Kadang keluhmu tak menyisakan sedikitpun perhatianku. Kadang pengabaianmu terlampau angkuh, bahkan ombak enggan menjangkau tepi sebab puja-pujimu terlampau tinggi membumbung sampai ke langit. Kau ingin bahagia, kau bilang. Kau ingin segalanya indah, tapi tak sedikitpun kau indahkan aku.

Aku hanyalah sebutir pasir di pantaimu. Setitik tinta dari sebuku tulisan-tulisanmu. Tapi itulah belukar hatimu. Bahkan dirimu sendiri kerap tersesat di dalamnya, terpuruk dalam pengharapan rindu yang tak pernah mau kau puaskan.



Maafkan aku...bukan inginku mengikuti jejakmu. Andai pengabaian ini tertuju padamu, itu hanya karena aku lelah menjangkaumu. Lelah, menyandang keraguan dan impian semu tuk meraihmu, memilikimu...


Biarlah rindu mengawang dan hinggap di ketetapan takdirnya.

Asmara Gt.

Sudahlah...Usai Sajalah

Mengukur jarak nafas cinta
ketika berahi gusar memberangus malam
terserak-serak di altar pengabaian...

Desahmu menjadi usang
bersama butiran-butiran garam keringat
yang membercak noda di kali hitammu...

Kecantikanmu hanyalah dongeng nenek moyang
yang tertanam bersama nisan-nisan lapuk di kubur pahlawan...

Hari ini adalah masa lalu yang mengawang
beriringan renta usia nenek-nenek ompong
yang melolong-lolong tak tertolong...

Sudahlah...usai sajalah...
beri nafas pada sesak celah jarak antara kita!