Aku, Magdalena. Aku punya anak yang kulahirkan tanpa ikatan perkawinan oleh seorang lelaki pengecut sekaligus bajingan. Pengecut, karena dia lari begitu tahu aku hamil anaknya. Dan bajingan, karena dia ternyata memang seorang penjahat. Dia mati tertembak waktu mau merampok sebuah bank. Kukira memang sebaiknya begitu. Sebab dia merupakan cerita tersendiri yang sesungguhnya sangat ingin aku lupakan. Jangankan untuk menceritakannya, mengingat namanya saja aku sudah tak rela. Biarlah dia menguap bersama masa laluku yang kelam. Meskipun dia yang telah ditakdirkan Tuhan untuk memberikan aku Bunga. Tapi bagiku dia hanyalah sebutir debu yang pernah hinggap di ujung sepatuku.
Menari adalah satu-satunya keahlianku. Dari menari aku dapat menghidupi ibuku, diriku sendiri dan anak gadisku, Bunga. Tapi cerita ini bukan mengenai apa profesiku dan apa saja yang telah kuhasilkan darinya. Aku cukup puas mengenai hal itu. Kukira begitu juga dengan ibu dan anakku. Dan aku patut bersyukur. Namun ada bagian lain dalam diriku yang hendak kuungkapkan, sebab aku sudah tak kuasa lagi menanggungnya sendirian. Ya, selama bertahun-tahun ini beban itu hanya kusimpan sendiri. Kusimpan dengan rapi di satu ruang hatiku. Dan keberadaannya telah mengakar dan tumbuh menjadi sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, yang kian lama kian menjelma menjadi suatu kekuatan yang menyesatkan! Suatu kekuatan yang selalu mendorongku untuk melakukan tindakan-tindakan mengerikan yang belakangan ini makin sering kulakukan. Entah mengapa, walau sebagian hatiku menilai tindakan-tindakan itu sebagai kesesatan, namun hal itu telah menjelma menjadi semacam kesenangan yang aneh. Kukatakan begitu, sebab tak jarang ajakan untuk melakukannya kian hari kian mendominasi kehidupanku. Dia telah membuat aku berubah menjadi mahluk pemangsa yang buas!
Aku sakit! Dendamku meradang dan membuat kebencian ini semakin hari semakin menggunung dan siap meletus kapanpun! Dendam yang tertoreh dalam, menguakkan luka hati yang tak mungkin bisa kutemui obatnya. Laki-laki. Merekalah penyebabnya. Mereka adalah musuh yang nyata bagiku! Semuanya, tanpa kecuali! Aku ingin sekali mereka binasa semuanya!
Pada suatu malam, sehabis pulang dari menari di suatu gedung pertunjukkan. Waktu itu anakku Bunga baru berumur dua bulan. Aku diculik lima pemuda bajingan yang membawa aku ke sebuah villa untuk diperkosa. Satu-satu mereka mengantriku. Sakit, lemah dan amarah yang tak mungkin bisa terlampiaskan. Aku tak berdaya. Aku pasrah dan membiarkan mereka semua menzalimi tubuhku seenaknya.
Sesungguhnya peristiwa itu sudah lama aku lupakan. Dan aku sudah berhasil mengatasi trauma yang ditimbulkan oleh akibat peristiwa itu. Namun yang sangat mengejutkanku dan hal itu tak mungkin bisa termaafkan, oleh sebab pada suatu waktu, secara tak disengaja aku menemukan kenyataan mengerikan sepanjang hidupku bahwa aku…aku dinyatakan pengidap HIV positif! Demi Tuhan, kenyataan itu begitu mengguncangku, memporakporandakan seluruh harapan hidupku! Pikiranku langsung menerawang seketika pada peristiwa pemerkosaan lima tahun yang lalu. Aku langsung bisa menduga kalau salah seorang dari pemerkosaku itu ada yang mengidap HIV dan berhasil menyuntikan virusnya ke dalam tubuhku! Demi Tuhan, sejak itu dendam kusumat menjalar dahsyat ke seluruh sel tubuhku. Dan aku bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku ingin mereka menderita hal yang sama dengan apa yang sedang kualami ini. Maka demi memenuhi tuntutan dendamku itu, aku langsung menemui kenalanku yang memiliki sebuah stripclub. Aku pikir, dengan menjadi penari telanjang, aku bisa dengan leluasa menjaring para lelaki untuk masuk ke dalam perangkapku.
Kini, sudah dua tahun berlalu. Dan aku sudah tak bisa lagi menghitung berapa banyak korban-korbanku. Yang kutahu, mereka kebanyakan adalah laki-laki yang senang mencari kepuasan seksualnya dengan jalan memperkosa. Atau mereka-mereka yang gemar menghamburkan uang demi menikmati tubuhku. Ya. Sesungguhnya tidak berat yang kulakukan dalam misi dendamku ini. Semuanya berlangsung seakan-akan sebagai suatu kewajaran. Aku tinggal menari di stripclub itu, lalu kubiarkan segalanya terjadi dengan sendirinya. Aku tahu betul siapa-siapa saja calon mangsaku. Mereka dapat kukenali dengan mudah lewat gerak-gerik dan pancaran mata mereka. Aku sangat peka melihat nafsu yang menggelora para lelaki itu, sekalipun mereka menyembunyikannya di balik keangkuhan dan kemunafikan-kemunafikan mereka. Ya, aku dapat melihat segalanya itu dari atas panggung tempat aku menebarkan aura sensualku. Mereka menatap lekuk-lekuk tubuhku, sementara aku, dari balik cadar lampu panggung, kutatap mata-mata mereka. Dan aku dapat leluasa menentukan siapa saja calon mangsaku. Biasanya mereka selalu dapat kukenali dengan gelagat yang sama, mengendap-endap dalam kegelapan, mata mereka selalu berkilatan penuh nafsu menguntit segala gerak-gerikku. Dengan begitu aku dapat dengan leluasa menebarkan jaring perangkapku. Lalu pulangnya kugiring para calon mangsaku itu ke suatu tempat yang memungkinkan mereka untuk leluasa memperkosaku. Aneh, bukan? Tapi begitulah jalan dendamku. Aku sadar, cara itu sangat beresiko, karena bisa saja mereka membunuhku sehabis menyalurkan nafsu bejat mereka. Dan sesungguhnya memang tak jarang tubuhku terluka-luka akibat perlakuan mereka. Tapi itupun sudah menjadi bagian yang telah kuperhitungkan demi menjalankan misi dendamku ini.
Pada suatu malam, dan kukira malam itu adalah malam yang telah digariskan Tuhan untuk kujalani. Aku tengah memangsa korbanku. Dan tak kubayangkan sebelumnya kalau mangsaku itu ternyata lebih buas dari dugaanku. Dia menyiksaku habis-habisan tanpa menjamah umpanku sedikitpun! Dia tidak melahapku, tapi aku yang dilahapnya!
Setelah puas dengan penganiayaan itu, diapun pergi meninggalkanku begitu saja dengan seluruh tubuhku penuh dengan darah dan luka-luka. Aku merayap, merangkak kepayahan dengan rasa sakit yang hampir tak bisa kutahan lagi. Hingga datang seorang supir taksi yang berniat untuk menolongku. Tapi niatnya itu bagiku terlalu berlebihan dan sangat sembrono. Dia tidak membawaku ke rumah sakit atau ke klinik untuk mengobati luka-luka di badanku, tapi dia langsung membawaku ke kantor polisi.
Sepanjang perjalanan menuju kantor polisi, tak henti-hentinya kularang dia. Tapi dia terus memaksa dan mengira kalau pendapatnya membawaku ke kantor polisi adalah yang paling benar. Hingga sampai di kantor polisi aku tak bisa lagi menahannya. Maka yang semula kusebut sebagai takdir Tuhan memang sungguh-sungguh terjadi, karena di kantor polisi itulah aku bertemu dengan kamu. Kamu yang menyebalkan, yang sok manusiawi, yang…ya, kamu tau…yang telah menyentuh nuraniku dan menyadarkan aku bahwa masih banyak hal yang lebih penting dari sekedar misi dendamku itu! Kamu juga yang membuka mata hatiku untuk melihat kembali hidupku. Betapa aku sendiri juga tak menyadari bahwa selama ini aku telah menjalani dua kehidupan sekaligus. Sebagai pemangsa dan saat yang bersamaan aku juga menjadi seorang ibu yang sangat dicintai anaknya. Aku tahu, dendamku telah membutakan mata hatiku. Aku lupa, Bungaku sesungguhnya sangat membutuhkan aku. Kamulah yang mengingatkan arti Bunga bagiku. Dan yang lebih tak kuduga sebelumnya, kamulah yang meperkenalkan padaku sebuah kata agung namun penuh misteri itu…ya, kamulah yang telah memasukkan aku ke dalam dunia asing namun penuh keindahan itu…karena kamulah aku kini memiliki…cinta! Meski terlambat kurasakan, namun kesejukannya begitu menentramkanku.
AGT