Kembali aku menduga-duga ketika kulihat sudut matamu menggelantung sebutir airmata. Untuk apa airmata itu? Kenapa kepedihan begitu kentara menggurat di wajahmu? Lalu tatap redupmu itu...ooh, kenapa pula kamu arahkan padaku? Apa yang telah kulakukan sampai kamu terlihat begitu tersiksa oleh kehadiranku?
Kuingat dua purnama lalu ketika kita pertama kali bertemu. Ada kepasrahan yang entah apa sebabnya mendekam di kedua matamu. Aku tak tau pasti. Lalu lenguhan itu...sesak tertahan kurasakan terhempas begitu saja dari kedalaman batinmu kala kupeluk lembut dirimu. Aku tak hendak menduga-duganya saat itu. Hanya desah nafasmu terlampau jujur menuturkannya sendiri padaku. Aku mengulum sebuah tanya; apa sebenarnya yang tengah melanda dirimu sampai terlihat kamu begitu tentram berada di dekapku? Dadaku hanya sebidang, kamu tau itu. Hadirku hanya batu sandungan dari seribu langkahmu, kamupun tau itu. Lantas kedamaian serupa apa yang kamu harap dapat kusisipkan di celah retak hatimu?...Retak? Benarkah hatimu pernah retak dan berharap seorang datang menyembuhkan retak hatimu itu?...Uuh, lagi-lagi aku cuma menduga!
Seperti bising lalu-lalang kendaraan di jalan itu, batinkupun menceracau oleh duga dan sangka. Pernah suatu ketika kamu tak sengaja berkeluh. Mungkin sebab penat dan kesesakan yang sama seperti saat airmatamu menggelantung kini. Akupun maklum, sebab keluhmu hanya desingan di telinga persis seperti melesatnya sepeda motor anak bergajulan yang tengah ugal-ugalan di jalanan itu. Dan dari keluhmu itupun dugaku seperti mendapat pencerahannya. Itulah sebabnya kamu menjadi begitu tentram berada dalam dekapku. Bukan sebab dadaku yang sebidang, bukan pula kelembutan pelukku sebab kesungguhan hatiku memaknakan cinta. Bukan. Bukan. Tapi karena sumber keluhmu itu justru terlampau sesak hingga kamu tak bisa lagi membedakan mana mimpi dan kenyataan. Aku berani pastikan, dugaku ini hampir mendekati kebenaran. Aku percaya, selama kita berada dalam kejujuran perasaan...maka hati kita akan bertemu di perasaan yang sama.
Dan kini...impian itu telah sirna dan kenyataan menjadi satu-satunya pilihan. Maka jangan salahkan hatimu bila sesakmu kembali memenuhi ruang batinmu, membelalakkan matamu untuk memilih kebenaran sejati di antara kepalsuan yang ada. Sebab hadirku hanyalah fatamorgana, cintaku hanyalah maya dan rinduku cuma sebilah goda yang hanya akan mencabik-cabik hatimu. Indah namun melenakan...dan pahit saat dikenang-kenang, sebab aku hanyalah sebutir mimpi yang turut sirna itu. Aku tak hendak menyangkalnya. Sebab kenyataan hidup jauh lebih berharga ketimbang mimpi yang sebutir itu.
Asmara Gt.